PROFIL SINGKAT
Nama Organisasi : HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
Sifat Organisasi : Independen
Tujuan Organisasi : terbinanya Insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarkat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
Riwayat Organisasi :
Berdiri : 05 Febuari 1947
Riwayat :
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berdiri di Yogyakarta pada 5 Febuari 1947, dimasa revolusi kemerdekaan yan gpenuh dengan gejolak, idealisme dan heroisme. HMI merupakan organisasi mahasiswa tertua di Indonesia, sejak awal berdirinya HMI telah menggariskan tekadnya untuk independen, tidak terikat secara struktural atau aspiratif dengan organisasi manapun. Lahirnya HMI atas prkarsa Lafran Pane dengan motivasi dasarnya mempertahankan Negara Republik Indonesia dan derajat rakyat Indonesia serta menegakkan dan mengembankan ajaran Agama Islam.
Pada setiap momen yang menentukan dalam perjalanan pertumbuhan dan perkembangan umat islam dan bangsa Indonesia. HMI tidak pernah melewatkannnya tanpa partisipasi yang aktif, kreatif dan korektif. Kiprah HMI yang demikian itu disebabkan oleh kesadaran yang kuat setiap insan HMI bahwa iman yang diyakini, Ilmu yang dimiliki senantiasa menghendaki perwujudkan dalam amal nyata demi mencari ridho Allah SWT. Karena sejatinya manusia adalah yang berguna bagi bangsa Negara dan Agamanya.
Tokoh – tokoh pendiri HMI
- Lafran Pane – M. Anwar
- Kartono Zakarsyi – Hasan Basri
- Dhlan Husein – Marwan
- Maisaroh Hilal – Zulkarnaen
- Suwali - Tayeb Razak
- Yushi Ghozali – Tohan Mashudi
- Manyur – Bidron Hadi
- Siti Zainab
Kongres
Deselenggarakan 2 tahun sekali
Keanggotaan :
Tingkat keanggotan : Anggota Muda
Anggota biasa
Anggota luar biasa
Anggota kehormatan
Persyaratan penerimaan :
- Mahasiswa islam yang terdaftar pada perguruan tinggi dan atau yang sederajat
- Masa perkenalan calon anggota (MAPERCA) menghasilkan anggota muda, latihan kader I menghasilkan anggota biasa
Wilayah / Cabang Organisasi
Saat ini HMI memiliki 17 Bada Koordinasi (BADKO) dan 146 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia
Kegiatan pokok HMI
Pada dasarnya seluruh kegiatan HMI adalah training atau pelatihan, yang terbagi menjadi training formal, infromal dan non formal.
Training formal : masa peerkenalan calon anggota (MAPERCA), latihan kader I, II, III, Latihan Khusu Kohati, Senior Course, Kursus Politik dan lain-lain
Training inforaml : suatu proses transfer gagasa, pengalaman, ilmu dan ketrampilan yang dilakukan secara tidak formal melalui interaksi dan sosialisasi dalam HMI.
Training non formal : diskusi, seminar, simposium, lokakarya, kunjungan dan lainnya. Pengembangan minat dan bakat dalam segala bidang demi pengabdian pada masyarkat demi mencari ridho Allah SWT.
Lain-lain
Berperan aktif, kreatif dan korektif dalam semuar moment kehidupuan bermasyarkat, berbangsa dan benegara
ANGGARAN DASAR
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
Sesungguhnya Allah Subhana Wata ‘ala telah memwahykan islam sebagai ajaran yang haq dan sempuran untuk mengatur umat manusia berkehidupan sesuai dengan fitrahnya sebagai khalifah dimuka bumi denga kewajiban mengabdikan diri semata-mata kehadirat-Nya.
Menurut iradata Allah SWT kehidupan yang sesuai dengan fitrah-Nya adalah paduan utuh antara aspek duniawi dan ukhrawi, individu dan sosial serta iman, ilmu dan amal dalam mencapai kebagian hidup di dunia dan akhirat.
Berkat rahmat Allah SWT. Bangsa Indonesia telah berhasil merebut kemerdekaan dari kaum penjajah, maka umat Islam berkewajiban mengisi kemerdekaan itu dalam wadah NKRI menuju masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
Sebagi bagian dari umat isalm dunia, maka umat islam Indonesia memiliki kewajiban berperan aktif dalam menciptkan ukhuwah islmiyah sesama umat islam sedunia menuju masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
Mahasiswa Islam sebagai generasi muda yang sadar akan hak dan kewajibannya serta peran dan tanggung jawab kepada umat manusia, umat muslim dan bangsa Indonesia bertekad memberikan dharma bhaktinya untuk memujudkan nilai – nilai keislaman demi terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
Menyakini bahwa tujuan itu dapat dicapai dengan taufiq dan hidayah Allah SWT serta usaha-usaha yang teratur dan terncana dan penuh kebijaksanaan, dengan nama Allah kami Mahasiswa Islam menghimpun diri dalam suatu organisasi yang digerakan dengan pedoman berbentuk anggaran dasar sebagai berikut :
BAB I
NAMA, WAKTU DAN TEMPAT
Pasal 1
Nama
Organisasi ini bernama Himpunan Mahasiswa Islam, disingkat HMI
Pasal 2
Waktu dan Tempat kedudukan
HMI didrikan di Yogyakarta pada tanggal 14 Robiul Awwal 1366 H bertepatan dengan tanggal 5 Febuari 1947 untuk waktu yang tidak ditentukan dan berkedudukan ditempat Penggurus Besar
BAB II
AZAS
Pasal 3
HMI berazaskan Islam
BAB III
TUJUAN, USAHA DAN SIFAT
Pasal 4
Tujuan
Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarkat yang adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT.
Pasal 5
Usaha
a. Membina pribadi muslim untuk mencapai akhlaqul karimah.
b. Mengembangkan potensi kreatif, sosial dan budaya.
c. Mempelopori pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemaslhatan masa depan ummat manusia.
d. Memajukan kehidupan umat dalam mengamlkan Dinnul islam dalm kehidupan pribadi, bermasyarkat, berbangsa dan bernegara.
e. Memperkuat ukhuwah Islamiyah sesama Umat Islam sedunia.
f. Berperan aktif dalam dunia kemahasiswaan, perguruan tinggi dan kpemudaan untuk menopang pembangunan nasional
g. Usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan huruf (a) sampai dengan (e) dan sesuai dengan azas, fungsi dan peran organisasi serta berguna untuk mencapai tujuan organisasi.
Pasal 6
Sifat
HMI bersifat Independen
BAB IV
STATUS FUNGSI DAN PERAN
Pasal 7
Status
HMI adalah organisasi mahasiswa
Pasal 8
Fungsi
HMI berfungsi sebagai organisasi kader
Pasal 9
Peran
HMI berperan sebagai organisasi perjuangan
BAB V
Pasal 10
a. Yang dapat menjadi anggota HMI adalah mahasiswa Islam yang terdaftar pada perguruan tinggi dan/atau yang sederajat yang ditetapkan oleh pnegurus HMI cabang/pengurus besar HMI
b. Anggota HMI terdiri dari :
1. Anggota Muda
2. Anggota Biasa
3. Anggota Kehormatan
c. Setiap anggota memiliki hak dan kewajiban
BAB VI
KEDAULATAN
Kedaulatan berada ditangan anggota biasa yang pelaksanaannya diatur dalam Anggaran Dasar dan ketentuan penjabarannya
BAB VII
Pasal 12
Kekuasaan
Kekuasaan dipegang oleh kongres, konferensi/musyawarah cabang dan rapat anggota komisariat
Pasal 13
Kepempinan
a. Kepemimpinan organisasi dipegang oleh pengurus besar HMI, Pengurus HMI Cabang, dan Pengurus HMI Komisariat.
b. Untuk membantu tugas pengurus besar HMI, dibentuk badan koordinasi.
c. Untuk membantu tugas pengurus HMI Cabang, dibentuk coordinator komisariat.
Pasal 14
Majelis Pengawas dan Konsultasi
Ditingkat pengurus besar HMI dibentuk Majelis Pengawas dan Konsultasi PB HMI.
Ditingkat pengurus HMI Cabang dibentuk Majelis Pengawas dan Konsultasi Pengurus Cabang
Ditingkat Pengurus HMI Komisariat dibentuk Majelis Pengawas dan Konsultasi Pengurus Komisariat
Pasal 15
Badan-Badan Khusus
Dalam rangka memudahkan realisasi usaha mencapai tujuan HMI maka dibentuk Korp-HMI-wati, Lembaga Pengambangan Profesi, Badan Pnegelola Latihan dan Badan Penelitian Pengembangan.
BAB VIII
KEUANGAN DAN HARTA BENDA
Pasal 16
Keungan dan Harta Benda
a. Keuangan dan harta benda HMI dikelola dengan prinsip transparansi, bertanggungjawab, efektif, efisien dan berkesinambunganl.
b. Keuangan dan harta benda HMI diperoleh dari uang pangkal anggota, iuran dan sumbangan anggota, sumbangan alumni dan usaha-usaha lain yang halal dan tidak bertentangan dengan sifat independensi HMI
BAB IX
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR DAN PEMBUBARAN
Pasal 17
a. Perubahan anggaran dasar hanya dapat dilkukan pada kongres yang telah berselang dua periode kepengurusan PB HMI (empat tahun sekali).
b. Pembubaran organisasi hanya dapat ditetapkan di Kongres.
c. Harta benda HMI sesudah dibubarkan harus diserahkan kepada Yayasan Amal Islam.
BAB X
PENJABARAN ANGGARAN DASAR, DAN PENGESAHAN
Pasal 18
Penjabaran Anggaran Dasar HMI
a. Penjabaran pasal 3 tentang azas organisasi dirumusakn dal Memori Penjelasan tentang Islam sebagai Azas HMI.
b. Penjabaran pasal 4 tentang tujuan organisasi dirumuskan dalam tafsir tujuan.
c. Penjabaran pasal 5 tentang usaha organisasi dirumuskan dalam program kerja Nasional.
d. Penjabaran pasal 6 tentang sifat organisasi dirumusakan dalam Tafsir Independen HMI.
e. Penjabaran pasal 7 tentang fungsi organisasi dirumuskan dalam Pedoman Perkaderan HMI.
f. Penjabaran pasal 9 tentang peran organisasi dirumuskan dalam NIlai Dasar Perjuangan.
g. Penjabaran Anggaran Dasar tentang hal-hal diluar point a hingga f di atas dirumuskan dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 19
Aturan Tambahan
Hal-hal yang belum diatur dalam anggaran dasar dan penjabaran anggaran dasar dimuat dalam peraturan-peraturan/ketentuan-ketentuan tersendiri yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar dan penjabaran anggaran dasar HMI.
Pasal 20
Pengesahan
Pengesahan anggaran dasar HMI ditetapkan pada kongres III di Jakarta, tanggal 4 september 1953.
MEMORI PENJELASAN
TENTANG ISLAM SEBAGAI AZAS HMI
“Hari ini telah Kusempurnkan bagi kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhoi Islam itu jadi agama bagimu : (QS. Al-Maidah : 3).
“dan mereka yang berjuang dijalan-Ku (kebenaran), maka pasti Aku tunjukkan jalnnya (mencapai tujuan) sesungguhnya Tuhan itu cinta kepada orang-orang yang belslu berbuat(progresif) (QS.Al-Ankabut:69).
Islam sebagai ajaran yang haq dan sempurna hadir dibumi diperuntukkan untuk mengatur pola hidup manusia agar sesuai fitrah kemanusiaannya yakni sebagai khalifah dimuka bumi dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata ke hadirat-Nya.
Iradat Allah SWT. Kesempurnaan hidup terukur dari personality manusia yang integrative antara dimensi dunia dan ukhrawi, individu dan social serta iman, ilmu dan amal yang semuannya mengarah terciptanya kemaslahatan hidup di dunia baik secara individual maupun kolektif.
Secara normative islam tidak sekedar agam ritual yang cenderung individual akan tetapi merupakan suatu tata nilai yang mempunyai komnitas dengan kesadaran kolektif yang memuat pemaham/kesadaran, kepentingan, struktur dan pola kasi bersama demi tujuan-tujuan politik.
Substansi pada dimensi kemasyarakatan, agama memberikan spirit pada pembentukan moral dan etika. Islam yang menetapkan Tuhan dari segala tujuan menyiratkan perlunya peniru etika ke Tuhanan yang meliputi sikap rahmat(pengasih), barr(pemula), ghafur(pemaaf)rahim(penyayang), dan ihsan (berbuat baik). Totalitas dari etika tersebut menjadi kerangka pembentukan manusia yang kafah (tidak boleh menduar) antara aspek ritual dengan aspek kemasyarakatan (politik, ekonomi dan social budaya).
Adanya kecenderungan bahwa peran kebangsaan islam mengalami marfinalisasi dan tidak mempunyai peran yang signifikan dalam mendesain bangsa merupakan implikasi dari proses yang ambigiustas dan distorsif. Fenomena ini ditandai dengan terjadinya mutual understanding antara islam sebagai agama dan pancasila sebagai ideology. Penempatan posisi yang antagonis sering terjadi karena berbagai kepentingan politik penguasa dai politisi-politisi yang mengalami split personality.
Kelahiran HMI dari rahim pergolakan revolusi phisik bangsa pada tanggan 5 febuari 1974 didasari pada semangat menimplementasikan nilai-nilai ke-Islaman dalam berbagai aspek ke Indonesiaan.
Semangat nilai yang menjadi embrio lahirnya komunitas Islam sebagai interest group (kelompok kepentingan) dan pressure group (kelompok penekanan).
Dari sisi kepentingan sasaran yang hendak diwujudkan adalah terutangnya nilai-nilai tersebut secara normative pada setiap level kemasyarakatan, sedangkan pada posisi penekan adalah keinginan sebagai pejuang Tuhan (Sabilillah) dan pembelaan mustadh’afin.
Proses Internalisasi dalam HMI yang sangat beragam dan suasan interaksi yang sangat plural menyebabkan timbulna berbagai dinamikia ke-Islaman dank e-Indonesiaan dengan didasari rasionalisasi menurut subyek dan waktunya.
Pada tahun 1955 pola interaksi politik didominasi pertarungan ideologis antara nasionalisme, komunisme dan agama (Islam). Keperluan sejarah (historical necessity) memberikan spirit proses ideologis organisasi. Eksternalisasi yang muncul adalah kepercayaan diri organisasi untuk “bertarung” dengan komunitas lain yang mencapai titik kulminasinya pada tahun 1965.
Seiring dengan kreatifitas intelektual pada kader HMI yang menjadi ujung tombak pembaharuan pemikiran Islam dan proses transformasi politik bangsa yang membutuhkan suatu perekat serta ditopang akan kesadaran sebuah tanggung jawab kebangsaan, maka pada Kongres ke-X di Palembang, tanggal 10 Oktober 1971 terjadilah proses justifikasi Pancasila dalam mukadimah Anggaran Dasar.
Orientasi aktifitas HMI yang merupakan penjabaran dari tujuan organisasi menganjurkan terjadinya proses adaptasi pada zamannya. Keyakinan Pancasila sebagai ideology Negara pada kenyataannya mengalami proses stagnasi. Hal ini memberikan tuntutan strategi baru bagi lahirnya metodologi aplikasi Pancasila. Normalisasi Pancasila dalam setiap kerangka dasar organisasi menjadi suatu keharusan agar mampu mensuprot bagi setiap institusi kemasyarakatan dalam menimplementasikan tata nilai Pancasila.
Konsekkuensi yang dilakukan HMI adalah ditetapkan Islam sebagai identitas yang mensubordinasi Pancasila sebagai azas pada Kongres XVI di Padang. Maret 1986.
Islam yang senantiasa memberikan motivasi energy perubahan mengharuskan para penganutnya untuk melakukan inovasi, eksternalisasi maupun obyektifikasi. Dan yang paling fundamental peningkatan gradasi umat diukur dari kualitas keimanan yang dating dari kesadaran paling dalam bukan dari pengaruh eksternal. Perubahan bagi HMI merupakan suatu keharusan, dengan semakin meningkatnya keyakinan akan Islam sebagai landasan teologis dalam berinteraksi secara vertical maupun horizontal, maka pemilihan Islam sebagai azas merupakan pilihan dasar dan bukan implikasi dari sebuah dinamika kebangsaan.
Demi tercapainya idealism ke-Islaman dan ke-Indoneesiaan, maka HMI bertekad Islam dijadikan doktrin yang mengarahkan pada peradaban secara integralistik, trasedental, humanis dan inklusif. Dengan demikian kader-kader HMI harus berani menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta prinsip-prinsip demokrasi tanpa melihat perbedaan keyakinan dan mendorong terciptanya penghargaan Islam sebagai sumber kebenaran yang paling hakiki dan menyerahkan semua demi ridho-Nya.
TAFSIR TUJUAN
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
PENDAHULUAN
Tujuan yang jelas diperlukan untuk suatu organisasi, hingga setiap usaha yang dilakukan oleh organisasi tersebut dapat dilaksanakan dengan teratur. Bahwa tujuan suatu organisasi dipengaruhi oleh suatu motivasi dasar pembentukan, status dan fungsinya dalam totalitas dimana ia berada. Dalam totalitas kehidupan bangsa Indonesia, maka HMI adalah organisasi yang menjadikan Islam sebagai sumber nilai, motivasi dan inspirasi bahwa HMI berstatus sebagai organisasi Mahasiswa, berfungsi sebagai organisasi kader dan yang berperan sebagi organisasi perjuangan serta bersifat independen.
Pemantapan fungsi kekaderan HMI ditambah dengan kenyataan bahwa bangsa Indonesia sangat kekurangan tenaga intelektual yang memiliki keseimbangan hidup yang terpadu antara pemenuhan tugas duniawi dan ukhrowi, iman, dan ilmu , individu dan masyarakat, sehingga peranan kaum intelektual yang semakin besar dimasa mendatang merupakan kebutuhan yang paling mendasar.
Atas factor tersebut, maka HMI menetapkan tujuannya sebagaimana dirumuskan dalam pasal 4 AD, ART HMI yaitu :
“TERBINANYA INSAN AKADEMIS, PENCIPAT, PENGABDI YANG BERNAFASKAN ISLAM DAN BERTANGGUNG JAWAB ATAS TERWUJUDNYA MASYARAKAT ADIL MAKMUR YANG DIRIDHOI ALLAH S.W.T”.
Dengan rumusan tersebut, maka pada hakekatnya HMI bukanlah organisasi massa dalam pengertian fisik dan kualitatif, sebaliknya HMI secara kualitatif merupakan lembaga pengabdian dan pengembangan ide, bakat dan potensi yang mendidik, memimpin dan membimbing anggota-anggotanya untuk mencapai tujuan dengan cara – cara perjuangan yang benar dan efektif.
MOTIVASI DASAR KELAHIRAN DAN TUJUAN HMI
Sesungguhnya Allah S.W.T telah mewahyukan Islam sebagai agama yang Haq dan sempurna untuk mengatur umat manusia agar berkehidupan sesuai dengan fitrahnya sebagai Khalifahtullah di muka bumi dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata kehadiratnya.
Kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia tersebut adalah kehidupan yang seimbang dan terpadu antara pemenuhan dan kalbu, iman dan ilmu dalam mencapai kebagaian hidup didunia dan ukhrowi. Atas keyakinan ini, maka HMI menjadikan Islam selain sebagai motivasi dasar kelahiran juga sebagai sumber nilai, motivasi dan inspirasi. Dengan demian Islam bagi HMI merupakan pijakan dalam menetapkan tujuan dari usaha organisasi HMI.
Dasar motivasi yang paling dalam bagi HMi adalah warisan ajaran Islam. Karena Islam adalah ajaran fitrah, maka pada dasarnya tujuan dan mission Islam adalah juga merupakan tujuan daripada kehidupan manusia yang fitri, yaitu tunduk kepada fitrah kemanusiaanya.
Tujuan kehidupan manusia yang fitri adalah kehidupan yang menjamin adanya kesejahteraan jasmani dan rohani secara seimbang atau dengan kata lain kesehjateraan materiil dan kesejahteraan spririttuil.
Kesejahteraan akan terwujud dengan adanya amal saleh (kerja kemanusiaan)yang dilandasi dan dibarengi dengan keimanan yang benar. Dalam amal kemanusiaan. Inilah manusia akan dapat kebahagiaan dan kehidupan yang sebaik-baiknya. Bentuk kehidupan yang ideal secara sederhana kitga rumuskan dengan “kehidupan yang adil dan makmur”.
Untuk menciptka kehidupan yang demikian. Anggaran Dasar menegaskan kesadaran Mahasiswa Islam Indonesia untuk merealisasikan nilai-nilai keTuhanan YME. Kemanusia yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan/perwakilan serta mewujudkan keadilan social bagi seluruh Indonesia dalam rangka mengabdikan diri kepada Allah S.W.T
Perwujudan dari pelaksanaan nilai-nilai tersebut adalah beruma amal saleh dan kerja kemanusiaan. Dan kerja kemanusiaan ini akan terlaksana secara benar dan sempurna apabila dibekali dan didasari oleh iman dan ilmu pengetahuan. Karena inlah hakekat tujuan HMI tidak lain adalah pembentukan manusia yang beriman dan berilmu serta menunaikan tugas serta kemanusiaan (amal saleh). Pengabdian dan bentuk amal saleh inilah pada hakekatnya tujuan hidup manusia, sebab melalui kerja kemanusiaan, manusia mendapatkan kebahagiaan.
BASIC DEMAND BANGSA INDONESIA
Sesungguhnya kelahiran HMI dengan rumusan tujuan seperti pasal 4 Anggaran Dasar tersebut adalah dalam rangkan menjawab dan memenuhi kebutuhan dasar (basic need) bangsa Indonesia setelah mendapat kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 guna menformulasikan dan merealisasikan cita-cita hidupnya untuk memahami kebutuhan dan tuntutan tersebut maka kita perlu melihat dan memahami keadaan masa lalu dan kini. Sejarah bangsa Indonesia dapat kita bagi menjadi 3(tiga) periode yaitu :
a) Periode (masa) penjajahan
Penjajahan pada dasarnya adalah perbudakan. Sebagai bangsa terjajah sebenarnya bangsa Indonesia pada waktu itu telah kehilangan kemauan dan kemerdekaan sebagai hak asasinya. Idealism dan tuntuan bangsa Indonesia pada waktu itu adalah kemerdekaan. Oleh karena itu timbulah pergerakan nasional dimana pimpinan-pimpinan yang dibutuhkan adalah mereka yang mampu menyadarkan hak-hak asasinya sebagai suatu bangsa.
b) Periode (masa) revolusi
Periode ini adalah masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Berkat rahmat Tuhan YME serta didorongnya oleh keinginan yang luhur maka bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya pada tanggan 17 Agustus 1945. Dalam periode ini yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia adalah adnya persatuan solidaritas dalam bentuk mobilitas kekuatan fisik guna melawan dan menghancurkan penjajah. Untuk itu dibutuhkan adalah “solidarity making” diantara seluruh kekuatan nasioanl sehingga dibutuhkan adanya pimpinan nasional tipe solidarity maker
c) Periode (masa) membangun
Setelah bangsa Indonesia merdeka dan kemerdekaan itu mantap berada ditangan maka timbullah cita-cita dan idealism sebagai manusia yang bebas dapat direalisir dan diwujudkan. Karena periode ini adalah periode pengisian kemerdekaan, yaitu guna menciptkan masyarakat atau kehidupan yang adil dan makmur. Maka mulailah pembangunan nasional. Untuk melaksanakan pembangunan, factor yang diperlukan adalah ilmu pengetahuan.
Pimpinan nasional yang dibutuhkan adalah negarawan yang “problem solver”yaitu tipe “administrator” disamping ilmu pengetahuan diperlukan pula adanya iman/akhlak sehingga meraka mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan (amal saleh). Manusia demikian mempunyai garansi kehidupan sejahtera adil dan makmur serta kebagiaan. Secara keselurahn basic demand bangsa Indonesia adalah terwujudnya bangsa yang merdeka, bersatu dan berdaulat, menghargai HAM, serta menujunjung tinggi nilai kemanusiaan dengan tegas tertulis dalam pembukaan UUD 1945 dalam alenia dua.
Tujuan 1 dan 2 secara formal telah kita capai tetapi tujuan ke-3 sekarang sedang kita perjuangakan. Suatu masyarakat atau kehidupan yang adil dan makmur hanya akan terbina dan terwujud dalam suatu pembaruan dan pembanguanan terus menerus yang dilakukan oleh manusia yang beriman, berilmu pengetahuan dan berkepribadian, dengan mengembangkan nilali-nilai kepribadian bangsa.
KUALITAS INSAN CITA HMI
Kualitas insane cita HMI adalah merupakan dunia cita yang terwujud oleh HMI didalam pribadi seorang manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan. Kualitas tersebut sebagaimana dalam pasal tujuan (pasal 5 AD HMI) adalah sebagai berikut :
1. Kualitas Insan Akademis
· Berpendidikan tinggi, berpengetahuan luas, berpikir rasional, obyektif dan kritis.
· Memiliki kemampuan teoritis, mampu memformulasikan apa saja yang diketahui dan dirahasiakan. Dia selalu berlaku dan menghadapi suasana sekelilingnya dengan kesadaran.
· Sanggup berdiri sendiri dengan lapangan ilmu pengetahuan sesuai dengan ilmu pilihannya, baik teoritis maupun teknis dan sanggup bekerja secara ilmiah yaitu secara bertahap, teratur, mengarah pada tujuan sesuai dengan prinsip-prinsip perkembangan.
2. Kualitas insan pencipta
· Sanggup melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih dari sekedar yang ada dan bergairah besar untuk menciptkan bentuk-bentuk baru yang lebih baik dan bersikap dengan bertolak dari apa yang ada (yaitu Allah). Berjiwa penuh dengan gagasan-gagasan kemajuan, selalu mencari perbaikan dan pembaruan.
· Bersifat independen dan terbuka, tidak isolative, insane yang menyadari dengan sikap demikian potensi, kreatif dapat berkembang dan menentukan bentuk yang indah-indah.
· Dengan ditopang kemampuan akademisnya dia mampu melaksanakan kerja kemanusiaan yang disemangati ajaran Islam.
3. Kualitas insane pengabdi : kualitas Akademis, Pencipta, Pengabdi
· Ikhlas dan sanggup berkarya demi kepentingan orang banyak atau untuk sesama umat.
· Sadar membawa tugas insane pengabdi, bukannya hanya membuat dirinya baik tetapi juga membuat kondisi sekelilingnya menjadi baik.
· Insane akademis, pencipta dan pengabdi adalah yang bersungguh-sungguh mewujudkan cita-cita dan ikhlas mengamalkan ilmunya untuk kepentingan sesama.
4. Kualitas insan yang bernafaskan islam : insane akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan islam
· Islam yang menjiwai dan member pola fikir dan pola lakunya tanpa memakai merk islam. Islam akan menjadi pedoman yang berkarya dan mencipta sejalan dengan nilai-nilai universal islam. Dengan demikian telah menafasi dan menjiwai karyanya.
· Ajaran islam telah berhasil membentuk “unity personality” dalam dirinya. Nafas islam telah membentuk pribadinya yang utuh tercegah dari split personality tidak pernah ada dilemma pada dirinya sebagai warga Negara dan dirinya sebagai muslim. Kualitas insane ini telah mengintegrasikan masalah suksesnya pembangunan nasional bangsa ke dalam suksesnya perjuangan umat islam dan sebaliknya.
5. Kualitas insane bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah S.W.T :
· Insane akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah.
· Berwatak, sanggup memikul akibat-akibat yang dari perbuatannya sadar bahwa menempuh jalan yang benar diperlukan adanya keberanian moral.
· Spontan dalam menghadapi tugas, responsive dalam menghadapi persoalan-persoalan dan jauh dari sikap apatis.
· Rasa tanggung jawab, taqwa kepada Allah yang menggungah untuk mengambil peran aktif dalam suatu bidang dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah.
· Korektif terhadap setiap langkah awal yang berlawanan dengan usaha mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
· Percaya pada diri sendiri dan sadar akan kedudukannya sebagai “khallifah fil ard” yang harus melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan.
Pada pokoknya insane cita HMI merupakan “man of future” insane pelopor yaitu insane yang berfikiran luas dan berpandangan jauh, bersikap terbuka, terampil atau ahli dalam bidangnya, dia sadar apa yang menjadi cita-citanya dan tahu bagaimana mencari ilmu pengetahuan untuk secara kooperatif berkerja sesuai dengan yang dicita-citakan. Ideal tipe dari hasil perkaderan HMI adalah “man of inovator” (duta-duta pembantu). Penyuara “idea of progress” insane yang berkepribadian imbang dan padu, kritis, dinamis, adil dan jujur tidak takabur dan bertaqwa kepada Allah. Mereka itu manusia-manusia yang beriman, berilmu dan mampu beramal shaleh dalam kualitas yang maksimal (insane kami).
Dari lima kualitas insane tersebut pada dasaranya harus memahami dalam tiga kualitas insane cita yaitu kualitas insane akademis, pencipta dan pengabdi. Ketiga insane kualitas pengabdi tersebut merupakan insane islam yang terefleksi dalam sikap senantiasa bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridho Allah S.W.T
TUGAS ANGGOTA HMI
Setiap anggota HMI berkewajiban berusaha mendekatkan kualitas dirinya pada kualitas insane cita HMI seperti tersebut diatas. Tetapi juga sebaliknya HMI berkewajiban untuk memberikan pimpinan-pimpinan, bimbingan dan kondusif bagi perkembangan potensi kualitas pribadi-pribadi anggota-anggota dengan memberikan fasilitas-fasilitas dan kesempatan-kesempatan. Untuk setiap anggota HMI harus mengembangkan sikap mental pada dirinya yang independen untuk itu :
· Senantiasa memperdalam ilmu hidup kerohanian agar menjadi luhur dan bertaqwa kepada Allah.
· Selalu tidak puas dan selalu mencari kebenaran.
· Teguh dalam pendirian dan obyektif rasional menghadapi pendirian yang berbeda.
· Bersifat kritis dan berpikir bebas kreatif.
· Hal tersebut diperoleh antara lain dengan jalan :
o Senantiasa mempertinggi tingkat pemahaman ajaran islam yang dimilikinya dengan penuh gairah.
o Aktif berstudi dalam fakultas yang dipilihnya.
o Mengadakan tentir club untuk studi kasus ilmu jurusannya dan club studi untuk masalah kesejahteraan dan kenegaraan.
o Selalu hadir dalam forum ilmiah.
o Memelihara kesehatan badan dan aktif mengikuti karya bidang kebudayaan.
o Selalu berusaha mengamalkan dan aktif dalam mengambil peran dalam kegiatan HMI.
o Mengadakan kalaqah-kalaqah perkaderan dimasjid-masjid kampus.
Bahwa tujuan HMI sebagai dirumuskan dalam pasal AD HMI pada hakikatnya adalah merupakan tujuan dalam setiap anggota HMI. Insane cita HMI adalah gambaran masa depan HMI. Suksesnya seorang dalam HMI dalam membina dirinya untuk mencapai insane Cita HMI berarti telah mencapai tujuan HMI.
Insane cita HMI pada suatau waktu akan merupakan “intelektual community” atau kelompok intelegensi yang mampu merealisasi cita-cita umat dan bangsa dalam suatu kehidupan masyarakat yang sejahtera spiritual adil dan makmur serta bahagia (masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah S.W.T).
Wabillahittaufig wal hidayah
TAFSIR INDEPENDENSI
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
A. PENDAHULUAN
Menurut fitrahnya kejadiannya, maka manusia diciptakan bebas dan merdeka karenanya kemerdekaan pribadi adalah hak yang pertama. Tidak ada sesuatu yang lebih berharga daripada kemerdekaan itu. Sifat dan suasana bebas dari kemerdekaan seperti diatas adalah mutlak diperlukan terutama pada fase/saat manusia berada dalam pembentukan dan pengembangan. Masa/fase pembentukan dari pengembangan bagi manusia terutama dalam masa remaja atau generasi muda.
Mahasiswa dan kualitas-kualitas yang dimiliki menduduki kolompok elit dalam generasinya. Sifat kepeloporan dan kritis adalah ciri dari kelompok elit dalam generasi muda, yaitu kelompok mahasiswa itu sendiri. Sifat kepeloporan, keberanian dan kritis yang didasarkan pada obyektif yang harus diperankan mahasiswa bias dilaksankan dengan baik apabila mereka dalam suasan bebas merdeka dan demokratis obyektif dan rasional. Sikap ini adalah yang progresif (maju) sebagai cirri dari pada seorang intelektual. Sikap atas kejujuran keadilan dan obyektifitas.
Atas dasar keyakinan itu, maka HMI sebagai organisasi mahasiswa harus pula bersifat independen. Penegasan ini dirumuskan dalam pasal 6 anggaran dasar HMI yang mengemukakan secara tersurat bahwa HMI adalah organisasi yang bersifat independen sifat dan watak independen bagi HMI adalah merupakan hak azasi yang pertama.
Untuk lebih memahami esensi independen HMI, maka harus juga ditinjau secara psikologis keberadaan pemuda mahasiswa islam yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam yakni dengan memahami status dan fungsi dari HMI
B. STATUS DAN FUNGSI HMI
Status HMI sebagai organisasi mahasiswa member petunjuk dimana HMI berspesialisasi. Dan spesialisasi tugas inilah yang disebut fungsi HMI. Kalau tujuan menujukan dunia cita yang harus diwujudkan maka fungsi sebaliknya menunjukkan gerak atau kegiatan (aktifitas) dalam mewujudkan (final goal). Dalam melaksanakan spesialisasi tugas tersebut, karena HMI sebagai organisasi mahasiswa maka sifat serta watak mahasiswa harus menjiwai dan dijiwai HMI. Mahasisswa sebagai kelompok elit dalam masyarakat pada hakikatnya memberi arti bahwa ia memikul tanggung jawab yang benar dalam melaksanakan fungsi generasinya sebagai kaum muda terdidik harus sadar akan kebaikan dan kebahagiaan masyarakata hari ini dan ke masa depan. Karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis itu mahasiswa dan masyarakat berperan sebagai “kekuatan moral” atau moral forces yang senantiasa melaksanakan fungsi “social control”. Untuk itulah maka kelompok mahasiswa harus merupakan kelompok yang bebas dari kepentingan apapun kecuali kepentingan kebenaran dan obyektifitas demi kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Dalam rangka penghikmatan terhadap spesialisasi kemahasiswaan ini, akan dalam dinamikanya HMI harus menjiwai dan dijiwai oleh sikap independen.
Mahasiswa setelah sarjana adalah unsur yang paling sadar dalam masyarakat. Jadi fungsi lain yang harus diperankan mahasiswa adalah sifat kepeloporan dalam bentuk dan proses perubahan masyarakat. Karenanya kelompok mahasiswa berfungsi sebagai duta-duta pembaruan masyarakat atau “agent of social change”. Kelompok mahasiswa dalam sikap dan watak tersebut diatas adalah merupakan kelompok elit dalam totalitas generasi muda yang harus mempersiapkan diri untuk menerima estafet pimpinan bangsa dan generasi sebelumnya pada saat yang akan dating. Oleh sebab itu fungsi kaderisasi harus melaksanakan fungsi kaderisasi demi perwujudan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat, bangsa dan negaranya dimasa depan maka kelompok mahasiswa harus senantiasa memiliki watak yang progresif dinamis dan tidak statis. Mereka dalam pengertian harus menghendaki perubahan yang terus menerus ke arah kemajuan yang dilandasi oleh niali-niali kebenaran. Oleh sebab itu mereka selalu mencari kebenaran dan kebenaran itu senantiasa menyatakan dirinya serta manusia. Karenannya untuk menemukan kebenaran demi mereka yang beradab kesejahteraan umat manusia maka mahasiswa harus memiliki ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai kebenaran yang berorientasi pada masa depan dengan bertolak kebenaran illahi. Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran demi mewujudkan beradaban bagi kesejahteraan masyarakat bangsa dan Negara maka setiap kadernya harus mampu melakukan fungsionalitas ajaran Islam.
Watak dan sifata mahasiswa seperti tersebut diatas mewarnai dan memberi cirri HMI sebagai organisasi mahasiswa yang bersifat independen. Status yang demikian telah member petunjuk akan spesialisasi yang harus dilaksanakan oleh HMI. Spesialisasi tersebut memberikan ketegasan agar HMI dapat melaksananka fungsinya sebagai organisasi kader, melalui aktifitas fungsi kekaderan. Segala aktifitas HMI harus dapat membentuk kader yang berkualitas dankomit dengan nilai-nilai kebenaran. HMI hendaknya menjadi wadah organisasi kader yang mendorong dan memberikan kesempatan berkembang pada anggota-anggotanya demi memiliki kualitas seperti ini agar dengan kualitas dan karakter pribadi yang cenderung pada kebenaran (hanief) maka setiap kader HMI dapat berkiprah secara tepat dalam melaksanakan pembaktiannya bagi kehidupan dan negaranya.
C, SIFAT INDEPENDEN HMI
Watak independen HMI adalah sifat organisasi secara etis merupakan karakter dan kepribadian kdaer HMI. Implementasinya harus terwujud di dalam bentuk pola pikir, pola pikir dan pola laku setiap kader HMI baik dalam dinamika dirinya sebagai kader HMI maupun dalam melaksanakan “Hakekat dan Mission” organisasi HMI dalam kiprah hidup berorganisasi bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Watak independen HMI yang tercermin secara etis dalam pola pilir pola sikap dan pola laku setiap kader HMI akan membentuk “Independen etis HMI” sementara watak independen HMI yang teraktualisasi secara organisatoris di dalam kiprah organisasi HMI akan membentuk “Independen organisatoris HMI”
Independensi etis adalah sifat independensi secara etis yang pada hakekatnya merupakan sifata yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Fitrah tersebut membuat manusia berkeingianan suci dan secara kodrati cenderung pada kebenaran (hanief). Watak dan kepribadian kader sesuai dengan fitrahnya akan membuat kader HMI selalu setia pada hati nuraninya yang senantiasa memancarkan keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran adalah ALLAH SUBNAHU WATA’ALA. Dengan demikian melaksanakan independensi etis bagi setiap kader dan berperilaku baik “hablumminallah” maupun dalam “hablumminannas” hanya tunduk dan patuh dengan kebenaran.
Aplikasi dari dinamika berpikir dan berprilaku secara keseluruhan merupakan watak azasi kader HMI dan teraktualiasasi riil melalui, watak dan kepribadian serta sikap-sikap yang :
· Cenderung kepada kebenaran (hanief).
· Bebas terbuka dan merdeka
· Obyektif rasional dan kritis
· Progresif dan dinamis
· Demokratis, jujur dan adil
Independensi organisatoris adalah watak independensi HMI yang teraktualisasi secara organisasi di dalam kiprah dinamika HMI baik dalam kehidupan intern maupun dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
Independensi organisatoris diartikan dalam bahwa dalam dalam keutuhan kehidupan nasionall HMI secara secara organisatoris senantiasa melakukan partisipasi aktif, kontruktif, koraktif dan konstitusional agar perjuangan bangsa dan segala usah pembangunan demi mencapai cita-cita semakin hari semakin terwujud. Dalam melakukan partisipasi aktif, kontruktif, korektif dan konstitusional tersebut secara organisasi HMI hanya tunduk serta komit pada prinsip-prinsip kebenaran dari obyektifitas. Dalam melaksanakan dinamika organisasi, HMI secara organisatoris tidak pernah “committed” dengan kepentingan pihak manupun ataupun kelompok dan golongan maupun kecuali tunduk dan terikat pada kepentingan kebenaran dan obyektifitas kejujuran dan keadilan.
Agar secara organisatoris HMI dapat melakukan dan menjalankan prinsip-prinsip independensi organisatorisnya, maka HMI dituntut untuk mengembangankan “kepemimpinan kuantitaf” serta berjiwa independen sehingga perkembangan, pertumbuhan dan kebijaksanaan organisasi mampu diemban selaras dengan hakikat independensi HMI. Untuk itu HMI harus mampu menciptkan kondisi yang baik dan mantap bagi pertumbuhan dan perkembangan kualitas-kualitas kader HMI. Dalam rangka menjalin tegaknya “prinsip-prinsip independensi HMI” maka implementasi independesi HMI kepada anggota adalah sebagai berikut :
Anggota – anggota HMI terutama aktifitasnya dalam melaksankan tugasnya harus tunduk pada ketentuan-ketentuan organisasi serta membawa program perjuangan HMI. Oleh karena itu tidak diperkenankan melakukan kegiatan-kegiatan dengan membawa organisasi atas kehendak pihak luar mananpun juga.
Mereka tidak dibenarkan mengadakan komitmen-komitmen dengan bentuk apapun dengan pihak luar HMI selain segala sesuatu yang telah diputuskan secara organisatoris.
Alumni HMI senantiasa diharapakan untuk aktif berjuang meneruskan dan mengembangkan watak independesi etis dimanapun mereka berada dan berfungsi sesuai dengan minat dan potensi dalam rangka membawa hakikat dan mission HMI. Dan menganjurkan serta mendorong alumni untuk menyalurkan aspirasi kualitatifnya secara tepat dan melalui semua jalur pembaktian baik jalur organisasi profesioanl kewiraswastaan, lembaga-lembaga social , wadah aspirasi politik lembaga pemerintahan ataupun jalur-jalur lainya yang semata-mata hanya karena hak dan tanggung jawabnya dalam rangka merealisasi kehidupan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah. Dalam menjalankan garis independensi HMI dengan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, pertimbangan HMI semata-mata adalah untuk memelihara mengembangkan anggota serta peranan HMI dalam rangka ikut bertanggung jawab terhadap bangsa dan Negara. Karenanya menjadi dasar dan criteria setiap langkah HMI semata-mata adalah kepentingan nasional bukan kepentingan golongan ataupun kepentingan partai dan pihak penguasa sekalipun. Bersikap independen berarti sanggup berpikir dan berbuat sendiri dengan menempuh resiko. Ini adalah suatu konsekuensi atau sikap pemuda. Mahasiswa yang kritis terhadap masa kini dan kemampuannya dirinya untuk sanggup mewarisi hari depan bangsa dan Negara.
D. PERANAN INDEPENDENSI HMI DI MASA MENDATANG
Dalam suatu Negara yang sedang berkembang seperti Indonesia ini maka tidak ada suatu investasi yang lebih besar dan yang lebih berarti daripada investasi manusia (human investment). Sebagaimana dijelaskan dalam tafsir tujuan, bahwa investasi manusia kemudian akan dihasilkan HMI adalah manusia yang berkualitas ilmu dan iman yang mampu melaksanakan tugas-tugas manusia yang akan menjamin adanya suatu kehidupan yang sejahtera material dan sprirituil adil makmur serta bahagia.
Fungsi perkaderan HMI dengan tujuan terbinanya manusia yang berilmu, beriman dan berperikemanusiaan seperti diatas maka setiap anggota HMI dimasa mendatang akan menduduki jabatan dan fungsi pimpinan yang sesuai dengan bakat dan potensinya.
Oleh karena itu hari depan HMI adalah lua dan gemilang sesuai status fungsi dan perannya dimasa kini dan masa mendatang menuntut kita pada masa kini untuk benar-benar mempersiapkan diri dalam menyosong hari depan HMI yang gemilang.
Dengan sifat dan garis independen yang menjadi watak organisasi berarti HMI harus mampu mencari, memilih dan menempuh jalan atas dasar keyakinan dan kebenaran. Mak konsekuensinya adalah bentuk aktifitas fungsionaris dan kader-kader HMI harus berkualitas sebagaimana digambarkan dalam kualitas insane cita HMI. Soal mutu dan kualitas adalah konsekuensi logis dalam garis independensi HMI harus disadari oleh setiap pimpinan dan seluruh anggota-anggotanya adalah suatu modal dan dorongan yang besar untuk selalu meningkatkan mutu kader-kader HMI sehingga mampu berperan aktif pada masa yang akan dating
Wabilahittaufig wal hidayah
SEJARAH
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)
DEFINISI SEJARAH
Sejarah adalah pelajaran dan pengetahuan tentang perjalanan masa lampau umat manusia, mengenai apa yang dikerjakan, apa yang dikatakan dan dipikirkan manusia pada masa lampau. Untuk menjadi cerminan dan pedoman berupa pelajaran, peringatan, kebenaran bagi masa kini dan mendatang untuk mengukuhkan hati manusia.
LATAR BELAKANG SEJARAH BERDIRINYA HMI
Kalau ditinjau secara umu ada empat (4) permasalahan yang menjadi latar belakang berdirinya HMI.
Situasi Dunia Internasional.
Berbagai argument telah diungkapkan sebab-sebab kemunduran umat Islam. Tetapi hanya satu hal yang mendekati kebenaran. Yakni kemunduran umat Islam diawali dengan kemunduran berpikir, bahkan sama menutup sama sekali untuk berpikir. Yang jelas saat umat Islam terlena dengan kebesaran dan keagungan masa lalu maka pada saat itu pula kemunduran menghingapi kita.
Akibat dari keterbelakangan umat Islam, maka muncullah gerakan untuk menentang keterbatasan seseorang melaksanakan ajaran Islam secara benar dan utuh. gerakan ini disebut gerakan pembaruan. Gerakan pembaruan ini ingin mengembalikan ajaran Islam kepada jaran yang totalitas, dimana disadari oleh kolompok ini, bahwa Islam bukan hanya terbatas pada hal-hal yang sacral saja, melainkan juga merupakan pola kehidupan manusia secara keseluruhan. Untuk itu sasaran gerakan pembaruan atau reformasi adalah ingin mengembalikan ajaran Islam kepada proporsi yang sebenarnya, yang berpedoman kepada Al Quran dan Hadist Rassullullah SAW.
Dengan timbulnya ide pembaruan itu, maka gerakan pembaruan di dunia Islam bermunculan, seperti Turiki(1720). Begitu juga penganjurnya seperti Rifaah Ath Tahtawi(1801-1872), Muhammad Abdul(1849-1905), Muhammad Ibnu Abdul Wahab(Wahabisme) di Saudi Arabia(1703-1787). Dan lain-lain.
Situasi NKRI
Tahun 1996 Cornlis de Houtman mendarat di Banten, maka sejak itu pulalah Indonesia dijajah Belanda. Imprealisme Barat selamat kurang lebih 350 tahun membawa palink tidak 3 hal :
- Penjajahan itu sendiri dengan segala bentuk implikasinya
- Missi dan Zending agama Kristen
- Peradaban barat dengan ciri sekulerisme dan liberalism
Setelah melalui perjuangan teruz menerus dan atas rahmat Allah SWT maka pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta Sang Dwi Tunggal Proklamasi atas nama bangsa Indonesia mengumandangkan kemerdekaannya.
Kondisi Mikrobiologis Umat Islam Indonesia.
Kondisi umat Islam sebelum berdirinya HMI dapat dikategorikan menjadi 4 golongan yaitu :
- Sebagian besar yang melakukan ajaran Islam itu hanya sebagai kewajiban yang diadatkan seperti dalam upacara perkawinan, kematian serta kelahiran.
- Golongan alim ulama dan pengikutnya-pengikutnya yang mengenal dan mempraktekan ajaran Islam sesuai dengan oleh nabi Muhammad SAW.
- Golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang terpengaruh oleh mistikisme yang menyebabkan mereka berpendirian bahwa hidup ini adalah untuk kepentingan akhirat saja.
- Golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman, selaras dengan wujud dan hakekat agama Islam, mereka berupaya supaya Islam itu benar-benar dipraktekan dalam masyarakat Indonesia.
Kondisi Perguruan Tinggi dan Dunia Kemahasiswaan
Ada dua factor yang sangat dominan yang mewarnai perguruan tinggi (PT) dan dunia kemahasiswaan sebelum HMI berdiri. Pertama : system yang diterapkan dalam dunia pendidikan pada umumnya dan PT khususnya adalah system pendidikan barat, yang megarah pada sekulerisme yang mendangkalkan agama setiap aspek pendidikan manusia. Kedua : adanya Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) dan Serikat Kemahasiswaan Indonesia(SMI) di Surakarta dimana kedua organisasi ini dibawah pengaruh komunis. Bergabungnya dua faham ini (sekuler dan komunis). Melanda dunia PT dan kemahasiswaan, menyebabkan timbulnya “krisis keseimbangan” yang sangat tajam, yakni tidak adanya keselarasan antara akal dan kalbu, jasmani dan rohani, serta pemenuhan antara kebutuhan dunia dan akhirat.
BERDIRINYA HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
Latar Belakang Pemikiran.
Berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) diprakasai oleh Lafran Pane, seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam), kini UII (Universitas Islam Indonesia) yang masih duduk di tingkat 1. Tentang sosok Lafran Pane, dapat diceritakan secara garis besarnya antara lain bahwa Pemuda Lafran Pane lahir di SIpirok-Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Pemuda Lafran Pane yang tumbuh dalam lingkungan nasionalis-muslim pernah menganyam pendidikan di pesantren, Wusta dan sekolah Muhammadiyah.
Adapun latar belakang pemikirannya dalam pendirian HMI adalah : “ melihat dan menyadari keadaan mahasiswa yang beragam Islam pada waktu itu umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Keadaan yang demikian adalah akibat dari system pendidikan dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Karena itu perlu dibentuk organisasi untuk merubah keadaan tersebut. Organisasi mahasiswa ini harus mempunyai kemampuan untuk mengikuti alam piliran mahasiswa yang selalu menginginkan inovasi atau pembaruan dalam segala bidang. Termasuk pemahaman dan penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan tersebut tidak akan terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya melarat. Maka organisasi ini turut mempertahankan Negara Republik Indonesia kedalam dan keluar, serta ikut mempertahankan dan mengusahakan kemakmuran rakyat.
Peristiwa Bersejarah 5 Febuari 1947
Setelah beberapa kali mengadakan pertemuan yang terakhir dengan kegagalan. Lafran Pane mengadakan rapat tanpa undangan, yaitu dengan mengadakan pertemuan dengan mendadak yang mempergunakan jam kuliah Tafsir. Ketika itu hari Rabu 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan 5 Febuari 1947, disalah satu ruangan STI dijalan Setiodiningratan (sekarang Penembahan Senopati). Masuklah mahasiswa Lafran Pane yang dalam prakatanya dalam memimpin rapat antara lain mengatakan “ Hari ini adalah pembentukan organisasi mahasiswa Islam, karena persiapan yang diperlukan sudah beres. Yang mau menerima HMI sajalah yang diajak untuk mendirikan HMI, dan yang menentang biarlah terus menentang, toh tanpa mereka organisasi ini bias berdiri dan berjalan” pada awal pembentukannya HMI bertujuan diantaranya :
Mempertahankan dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia dan Menegakan dan megnembangkan ajaran agama Islam. Sementara tokoh – tokoh pendiri HMI antara lain :
1. Lafran Pane (Yogya).
2. Karnoto Zakasyl (Ambarawa)
3. Dahlan Husein (Palembang)
4. Maisaroh Hilal (Singapura)
5. Suwali, Yushi Ghozali (Semarang)
6. Mansyur, Sisti Zaineah (Palembang)
7. M. Anwar (Malang)
8. Hasan Basr, Marwan Zulkarnaen, Tayeb Radak, Toha Mashudi (Malang)
9. Baldron Hadi (yogyakarata)
Factor – factor beridirinya HMI
Posisi dan arti kota Yogyakarta
1. Yogyakarta sebagai ibukota NKRI dan kota perjuangan
2. Pusat Gerakan Islam
3. Kota University / kota Pelajar
4. Pusat Kebudayaan
5. Terletak di Central of Java
6. Kebutuhan penghayatan dan keagamaan mahasiswa
7. Adanya tuntutan perang kemerdekaan bangsa Indonesia
8. Adanya STI, BTP (Balai Perguruan Tinggi) Gajah Mada, STT (sekolah tinggi teknik)
9. Adanya dukungan presiden STI Prof. Abdul Kahar Muzakir.
10. Umat Islam Indonesia Mayoritas
Factor penghambat berdirinya HMI
Munculnya reaksi-reaksi dari :
1. Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY)
2. Gerakan Pemuda Islam (GPI)
3. Pemuda Islam Indonesia (PII)
Fase-fase perkembangan HMI dalam perjuangan bangsa Indonesia
Fase Konsolidasi Spiritual (1946-1947)
Sudah diterangkan diatas
Fase pengokohan (5-febuari1947 – 30 November 1947)
Selama lebih kurang 9 bulan , reaksi-reaksi terhadap kelahiran HMI barulah berakhir. Masa Sembilan itu digunakan untuk menjawab berbagai reaksi dan tantangan yang datang silih berganti, yang kesemuanya itu semakin mengokokohkan eksistensi HMI sehingga dapat berdiri tegak dan kokoh.
Fase perjuangan bersenjata (1947-1949)
Seiring denga tujuan HMI yang digariskan sejak awal berdirinya, maka konsekuensi dalam perang kemerdekaan, HMI terjun kegelangang pertempuran melawan agresi militer yang dilakukan oleh Belanda, membantu pemerintah, baik memegan senjata, sebagai staff, penerangan, penghubung. Untuk menghadapi pemberontakan PKI dimadiun 18 september 1948, ketua PPMI/Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM) denga komandan Hartono dan wakil komandan Ahmad Tirtosudir, ikut membantu menumpas pemerintah menumpas pemberontakan PKI dimadiun, dengan mengerahkan anggota CM ke gunung-gunung, memperkuat aparat Pemerintah. Sejak itula dendam PKI terhadap HMI tertanam. Dendam disertai benci itu sangat menonjol pada tahun 64-65 dissat menjelang meletusnya G30S/PKI.
Fase pertumbuhan dan perkembangan HMI (1950-1963)
Selama para kader HMI banyak yang terjun ke gelangang pertempuran melawan pihak-pihak aggressor. Selama itu pula pembinaan organisasi terabaikan. Namun hal itu dilakukan secara sadar, karena itu semua untuk merealisir tujuan dari HMI sendiri, serta dwi tugasnya yakni tugas Agama and tugas bangsa. Maka dengan adanya penyerahan kedaulatan rakyat tanggal 27 Desember 1949, mahasiswa yang berniat untuk melanjutkan kuliahnya bermunculan diyogyakarta. Sejak tahun 1950 dilaksanakanlah tugas-tugas konsolidasi internal organisasi. Disadari bahwa konsolidasi organisasi adalah masalah besar sepanjang masa. Bulan juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakara.
Fase tantangan (1964-1965)
Dendam sejarah PKI terhadap HMI merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi HMI. Setelah agritasi-agritasi berhasil membubarkan Masyumi dan GPII, PKI menganggap HMI adalah kekuatan ketiga umat Islam. Begitu bersemangatnya PKI dan simpatisannya dalam membubarkan HMI, terlihat dalam segala aksi-aksinya, mulai dari hasutan, fitnah, propaganda hingga aksi-aksi berupa penculikan, dsb.
Usaha-usah yang gigih dari kaum komunis dalam membubarkan HMI ternyata tidak menjadi kenyataan. Dan sejarahpun telah membeberkan dengan jelas siapa yang kontra revolusi. PKI dengan puncah aksi pada tanggal 30 September 1965 telah membuatnya sebagai salah satu organisasi terlarang.
Fase kebangkitan HMI sebagai pelopor orde baru (1966-1968)
HMI sebagai sumber insane bangsa turut mempelopori tegaknya orde baru untuk menghapuskan orde lama yang sarat dengan ketotaliterannya. Usaha-usaha itu tampak antara lain HMI melalui Wakil Ketua PB Mari’ie Muhammad memprakasai Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) 25 Oktober 1965 yang bertugas antara lain : 1). Mengamankan Pancasila. 2). Memperkuat bantuan kepada ABRI dalam penumpasan Gestapu/PKI sampai ke akar-akarnya. Masa aksi KAMI yang pertama kali berupa rapat umum dilaksanakan tanggal 3 November 1965 di halaman fakultas kedokteran UI Salemba Jakarta. Dimana barisan HMI menunjukan superiolitasnya dengan massanya yang terbesar. Puncak aksi KAMI terjadi pada tanggal 10 Januari 1966 yang mengumandangkan tuntutan rakyat dalam bentuk Tritura. Tuntutan tersebut ternyata mendapat perlakuan yang represif dari aparat keamanan sehingga tidak sedikit mahasiswa yang menjadi korban. Mereka merupakan pahlawan-pahlawan ampere yang berjuang tanpa pamrih dan semata-mata demi kemaslahatan umat serta keselamatan bangsa serta Negara. Akhirnya puncak tuntutan tersebut berbuah hasil yang diharap-harapkan dengan keluarnya supersemar sebagai tonggak sejarahnya berdirinya orde baru.
Fase Pembangunan (1969-1979)
Setelah orde baru mantap, Pancasila dilaksanakan secara murni serta konsekuen (meski hal ini perlu kajian lebih dalam ) maka sejak tanggal 1 April 1969 dimulailah rencana pembangunan 5 tahun (Repelita). HMI pun sesuai dengan 5 aspek pemikirannya turut pula memberikan sumbangan serta partisipasinya dalam era awal pembangunan. Bentuk – bentuk partisipasi HMI baik anggota maupun yang telah menjadi alumni meliputi diantaranya :
1. Partisipasi dalam pembentukan suasana, situasi dan iklim yang memungkinkan dilaksankannya pembangunan.
2. Partisipasi dalam pemberian konsep-konsep dalam berbagai aspek pemikiran
3. Partisipasi dalam bentuk pelaksana langsung dari pembangunan.
Fase pergolakan dan pembaruan pemikiran (1970-sekarang)
Suatu ciri khas yang dibina oleh HMI, diantaranya adalah bebas berpikir dikalangan anggotanya, karena pada hakekatnya timbulnya pembaruan karena adanya pemikiran yang bersifat dinamis dari masing-masing individu. Disebutkan dalam fase pergolakan pemikiran ini muncul pada tahun 1970. Tetapi gejala-gejala tampak pada tahun 1968. Namun klimaksnya memang terjadi pada tahun 1970. Dimana secara relative masalah-masalah intern organisasi yang rutin telah terselesaikan. Sementara disisi lain, persoalan ekstern muncul menghadang dengan segudang probelma.
Billahitaufig wal hidayah
Wassalamualaikum war.’wb.
ARTI LAMBANG HMI
1. Bentuk huruf alif :
Sebagai huruf hidup, lambing optimis kehidupan HMI. Huruf alif merupakan angka 1 (satu) lambing tauhid dasar / semangat HMI.
2. Bentuk perisai
Lambang kepeloporan HMI
3. Bentuk jantung
Jantung merupakan pusat kehidupan manusia, lambang fungsi perkaderan HMI
4. Bentuk pena
Melambangkan bahwa HMI organisasi mahasiswa yang senantiasa haus akan ilmu pengetahuan
5. Gambar bulan bintang
Lambang kejayaan umat Islam seluruh dunia
6. Warna hijau
Lambang keseimbangan dan kemakmuran
7. Warna hitam
Lambang ilmu pengetahuan
8. Keseimbangan warna hijau dan hitam
Lambang keseimbangan, esensi kepribadian HMI
9. Warna putih
Lambang kemurnia dan kesucian perjuangan HMI
10. Puncak tiga
Lambang iman, Islam dan Iksan
Lambang iman, ilmu dan amal
11. Tulisan HMI
Kepanjangan dari Himpunan Mahasiswa Islam
NILAI DASAR PERJUANGAN (NDP)
Nilai dasar perjuangan adalah sebuah landasarn filsofis dan ideologis sekaligus sebagai perjuangan dari organisasi sehingga setiap kader HMI harus mampu memahami nilai dasar perjuangan hanya pada tataran yang formal tapi juga secara substansial sehingga tidak ada kontradiksi pada tataran konsep dan taktis melainkan sebuah keserasian antara landasan konseptual yang diterjemahkan pada wilayah strategis dan kebijakan yang taktis atau operasional.
Setiap generasi bertanggung jawab pada sejarah yang menyertainya dan progressifitas perubahan menjadi keniscayaan dari setiap sejarah. Begitu halnya dengan sebuah organisasi yang tidak mampu mengikuti pola perubahan yang terjadi pada zamannya, maka ida kakn tertinggal jauh dan menjadi organisasi yang keterbelakang. Sehingga wacana perubahan adalah identik dengan parsialitas perubahan yang niscaya harus direspon. Tuntutan inilah yang mendorong keterbukaan dan progresifitas, karena wacana yang anti kepada perubahan adalah kejumudan, ketertutupan terhadap realitas yang mengalami perubahan dan cenderung bersifat status quo dalam memapankan kekuasaan. Bakornas LPL HMI dalam melihat wacana perubahan yang terjadi dalam spirit organisasi perlu mengadakan sebuah perubahan dalam perkaderan yang tentunya berlandaskan dengan nilai-nilai yan gada dalam organisasi HMI, maka dengan itu kami mencoba memfasilitasi kader-kader HMI yang masih tetap eksis dalam dunia perkaderan untuk memformat ulang materi-materi dalam Nilai Dasar Perjuangan (NDP).yang menjadi rekomendasi kongres. Sebagai langkah konkrit maka dari Bakorna LPL HMI mengadakan semiloka pendalaman NDP di Mataram, yag kemudian menghasilkan draft materi dan pembentukan tim 8 untuk kemudian menggodok lebih lanjut materi NDP. Proses penyempurnaan draft narasi yang menjadi kelanjutan forum di mataram selanjutnya digelarahlah pendalaman dan finalisasi penulisan draft NDP yang diadakan oleh Bakornas yang bekerja sama dengan tim * di cabang Makassar Timur.
Dari hasil materi tersebut sepenuhnya nilai dasar perjuangan HMI tidaklah mengalami perubahan yang radikal hanya beberapa tema yang mengalami perubahan dan terdapat beberapa tema-tema tambahan khususnya materi-materi landasan dan kerangka berpikir dan dasar-dasar kepercayaan. Materi ini dianggapa penting karena secara subtansial materi ini dapat mengantarkan kita berpiki induktif yang ukuran kebenarannya hanya dalam batas yang material dan mengarahkan kita kepada tidak menyakini hal-hal yang sifatnya metafisika dan hal itu mengingkari landasan ideologis organisasi yang berbasis islam. Dan materi dasar-dasar kepercayaan yang selama ini bersifat dogmatis karena pembuktian wujud melalui pemahaman teks yang justru membawa paradigm dtermensitik dan jauh dari prinsip –prinsip rasionalitas. Olehnya itu terjadi pengayaan pendekatan dalam membuktikan esensialitas ajaran Islam secara logis dengan pendekatan deduktif.
Adapun pengayaan lanjut dalam materi nilai dasar kepercayaan adalah pertama : hakikat penciptaan dan eskatologi, materi ini mengurai tentang hakikat penciptaan manusia dan pembuktian secara rasional akan adanya hari kebangkitan dengan argumentasi yang logis dengan prinsip-prinsip yang rasional, kedua : manusia dan nilai kemanusiaan, materi ini mengurai tentang manusia sebagai khalifah dalam alam makrokosmos dilihat dari berbagai persfektip tentunya dalam kaca mata Qur-an melihat manusia, apa ukuran manusia itu dikatakan sempruna apakah dalam dimensi fisiologis atau dalam dimensi spriritual. Al Qur-an melihat bahwa ukuran kesempurnaan terletak dalam dimensi spiritual bukan fisiologis seperti yang diungkapkan oleh pemikir-pemikir barat yang berbasis materialistic. Selanjutnya penjabaran materi dari kemerdekaan manusia dan keniscayaan universal, individu dan masyarakata, keadilan ekonomi, keadilan social dan sains Islam mengalami perubahan pada materi yang secara subtansial adalah turunan dan penjabaran lebih jauh dari perubahan materi dari hakikat penciptaan dan eskatologi dan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan yang tentunnya dengan uraian materi yang saling terkait antara sub-sub bab masing-masing dalam kerangka yang sistematis.
Pada kesempatan ini secara khususnya Bakorna LPL HMI mengucapkan terima kasih kepada Kanda Muhammad Anwar (cak Konyak) selaku Kabid PA PB HMI periode 2003-2005 yang telah memberikan support penuh sehingga terlaksananya penulisan pengayaan materi NDP ini. Selain itu kepada Badko HMI Nusra dan HMI cabang Makasar TImur yang telah memfasilitasi proses penulisan teks NDP, serta pihak-pihak lain yang turut membantu proses pengayaan materi NDP ini, semoga Allah SWT membalas dengan setimpal.
Demikianlah pengatar dari Bakornas LPL PB HMI, mudah-mudahan kerja keras dan niat yang tulus ini mendapatkan Ridho dan Berkah-Nya serta bermanfaat buat kader-kader HMI dalam menata lebih jauh format pengkaderan di organisasi yang tercinta ini. Yakin Usaha Sampai
Billahi Taufig Walhidayah Wassala’mu alaikum Wr. Wb.
BAKORNAS LPL HMI
Ketua Umum ENCEF HANIF AHMAD
Sekertaris Umum HASBULLAH
BAB I : LANDASAN DAN KERANGKA BERPIKIR
Dalam benak atau pikiran manusia terdapat sejumlah gagasan baik yang bersifat tunggal (seperti gagasan kita tentang Tuhan, Dewa, malaikat, surge, neraka, kuda, batu, putih, gunung dan lain-lain) maupun majemuk (seperti gagasan kita tentang Tuhan Pengasih, Dewa Perusak, Malaikat pembawa wahyu, kuda putih, gunung dan lain-lain ). Bentuk pengetahuan-pengetahuan ini disebut pengetahuan tasawwur (konsepsi). Seluruh bentuk-bentuk proposisi kenyakinan atau kepercayaan apapun pada awalnya hanyalah merupakan bentuk konsepsi sederhana ini. Mengapa bisa demikian ? hal ini adalah mustahil seorang dapat menyakini atau mempercayai sesuatu atau jika sesuatu itu pada awalnya bukan merupakan sebuah konsepsi baginya.
Tetapi pengetahuan tasawwur (konsepsi) sebagaimana telah diketahui hanyalah merupakan gagasan-gagasan sederhana yang didalamnya belum ada penilaian itu ia dapat benar atau salah. Oleh karena seseorang tidak diperkenankan merasa puas hanya dengan pengetahuan konsepsi, tetapi ia harus melangkah untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat yakin yaitu pengetahuan – pengetahuan tasdhiqi. Dalam artian ia harus melakukan sesuatu proses penilaian terhadapa setiap gagasan-gagasan (baik tunggal maupun majemuk) atau konsepsinya itu agar dapat dinyakini. Lantas pertanyaannya adalah apa landasan pokok kita didalam menilai seluruh gagasan-gagasan kita yang mana kebenarannya mestilah bersifat mutlkan dan pasti ? dalam kanca perdebatan mazhab berdasarkan doktrinnya masing-masing. Ketiga mazhab itu pertama, mazhab ‘metafisika Islam’ dengan doktrin aqliahnya, kedua mazhab emperisme dengan doktrin emperikalnya dna ketiga mazhab skriptualisme dengan doktrin testualnya. Metafisika Islam dalam hal ini menjadikan prima prinsipnya dan kausalitas serta metode deduktif sebagai kerangka berpikir.
Adapun mazhab emperisme menjadikan pengalaman inderawi atau eksperimen sebagai landasan dalam menilai segala menajdikan teks-teks kitab suci sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu serta tekstual dalam kerangka berfikirnya. Mazhab kedua (empirisme) menolak seluruh bentuk landasan dan kerangka berpikir kedua mazhab yang lain. Begitu pula mazhab ketiga (skripstualisme), mereka skiptis terhadap landsan dan kerangka berpikir kedua mazhab yang lain. Adapun bagi mazhab pertama (metafisika Islam), mereka tidak menolak sumbangsih-informasi dari teks-teks kitab suci dan pengalaman inderawi atau eksperimen yang dijadikan landasan berpikir bagi kedua mazhab yang lain tetapi yang ditolaknya adalah bila keduanya (pengalaman dan teks-teks kita) itu merupakan landasan atau criteria dasar dalam setiap penilaian hal-hal ilmiah filosofi ataupun teologis.
Bagi mazhab pertama (metafisika Islam) pengalaman inderawi atau data eksperimen merupakan informasi-informasi yang sangat perlu upaya kita mengetahui aspek sekunder dari alam materi. Atau dengan kata lain data eksperimen atau pengalaman inderawi sangatlah dibutuhkan bila obyek pembahasan kita adalah khusus mengenai hal-hal yang sebagaian bersifat ilmiah dan sebagian lagi bersifat filosofis. Adapun teks-teks kitab suci sangatlah dibutuhkan dalam upaya kita mengetahui aspek sekunder dari keadaan-keadaan (kondisi obyektif) seperti alam gaib, akhirat, kehendak-kehendak suci Tuhan atau dengan kata lain jika pembahasan obyek kita berkenaan dengan sebagian dari obyek filosofis (metafisika dan teologi) yang dalam hal ini pengalaman inderawi atau eksperimen tidak dibutuhkan sama sekali. Karena itu dalam kerangka berpikir Islam, kedua data diatas (data pengalaman inderwai atau eksperimen dan teks-teks kitab suci) merupakan premis-premis minor dalam sistematika deduktif. Pada akhirnya tidak dapat diingkari bahwa dari mazhab Metafisika Islam yang berlandasan prima principia dan hokum obyektif kausalitas serta kerangka berpikir deduktifnya merupakan satu-satunya landasan berpikir di dalam menilai segala sesuatu. Tanpa pengetahuan dasar tersebut mustahil ada pengetahuan tasawwur (konsepsi) maupun tasdhiq (assent) apapun. Tak dapat dibayankan apa yang terjadi bila doktrin dari metafisika Islam ini bukan merupakan watak wujud (realitas obyek) yang mengatur segala sesuatu termasuk pikiran. Maka kebenaran dapat menjadi sama dengan kesalahanya, bahwa setiap peristiwa dapat terjadi tanpa ada sebabnya. Bila demikian adanya maka tentu meniscayakan mustahilnya penilaian. Mengapa demikian ? karena watak penilaian adalah ingin diketahuinya “sesuatau itu (konsepsi)” apakah ia benar atau salah atau ingin diketahuinya “mengapa dan kenapa sesuatu itu dapat terjadi”. Artinya jika pengetahuan dasar tersebut bukan merupakan watak dan hokum realitas yang mengatur segala sesuatu termasuk pikiran maka seluruh bangunan pengetahuan manusia baik dibidan ilmiah, filosofi dan teologis menjadi runtuh dan tak bermakna.
BAB II : DASAR-DASAR KEPERCAYAAN
Manusia adalah mahluk percaya. Pada kadarnya masing-masing, setiap mahluk telah memiliki kepercayaan/kesadaran berupa prinsip-prinsip dasar yang niscaya lagi rasional yang diketahuinya secara intuitif (common sense) yang menjadi kepercayaan utama mahluk sebelum ia merespon segala sesuatu diluar dirinya. Dengan bekal ini, manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan mempercayai pengetahuan-pengetahuan baru melalui aktifitas berpikir. Berpikir adalah aktifitas khas manusia dalam upaya memecahkan masalah-masalah dengan modal prinsip-prinsip pengetahuan sebelumnya. Memiliki sebuah kepercayaan yang benar yang selanjutnya melahirkan tata nilai adalah sebuah kemestian bagi perjalanan hidup manusia. Pada hakekatnya perilaku manusia yang tidak peduli untuk kepercayaan benar dan manusia yang berkepercayaan salah atau dengan cara yang salah tidak akan mengiringya pada kesempuranaan. Maka mereka tidak ubahnya seperti binatang. Manusia harus menelaah secara obyektif sandi-sandi kepercayaan dengan segala potensi yang dimilikinya. Kajian yang mendalam tentang kepercayaan sebagai sebuah konsep teoritis akan melahirkan sebuah kesadaran bahwa manusia adalah maujud yang mempunyai hasrat dan cita-cita untuk menggpai kebenaran dan kesempuranaan mutlak bukan nisbi. Artinya ia mencari zat yang maha tinggi dan maha sempurna (Al-Haaq). Ada berbagai macam pandangan yang menjelaskan tentang ketiadaan kebenaran dan kesempurnaan mutlak (Zat yang maha sempurna) tersebut sehingga mereka mengangap bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya (kebetulan) tidak ada yang mengadakannya. Metafisika Islam dengan prima principlanya sebagai prinsip dasar dalam berpikir mampu menyelelsaikan perdebatan itu dengan penjelasan kemutlakkan Wujud(ada)-nya, dimana wujud adalah sesuatua yang jelas keberadaannya dan tunggal karena selain keberadaan adalah ketiadaan sehingga apabila ada sesuatu selain ada maka itu adalah ketiadaan dan itu sesuatu yang mustahil karena ketiadaan tidak memiliki keberadaan. Manusia yang terbatas tidak sempurna tergantung memerlukan sebuah system nilai yang sempuran dan tidak terbatas sebagai sandaran dan pedoman hidupnya. System nilai tersebut harus berasal dari keadaan (zat yang maha sempurna) yang segala atributnya berbeda dengan mahluk. Konsekuensi akan kebutuhan asasi manusia pada sosok maha sempurna ini menegaskan bahwa segala sesuatu itu harus dapat dijelaskan oleh argumentasi-argumentasi rasional, terbuka dan tidak doktriner. Sehingga semua lapisan intelekual manusia tidak ada yang sangup menolak eksistensi-Nya. Sekalipun demikian, kenyataan menujukan bahwa sang maha sempurna itu diklaim oleh berbagai lembaga kepercayaan (agama) didunia ini dengan berbagai konsep, istilah dan bentuk. Symbol-simbol agam yang berbeda satu sama lain tersebut menyiratkan secara tersurat beberapa kemungkinan : semua agama itu benar, semua agama itu salah; atau hanya ada satu agama yang benar.
Agama-agama yang berbeda mustahil memiliki sosok maha sempurna yang sama, walau demikian walau demikian memiliki kesamaan etimologis. Sebab, bila sosok tersebut sama, maka agama-agama itu identik. Namun, kenyataan sosiologis menyebutkan adanya perbedaan pada masing-masing agama. Demikian pula, menilai semua agama itu salah adalah mustahil, sebab bertentangan dengan prinsip kebergantungan manusia pada sesuatu yang mahasempurana (Al-Haaq/Tuhan). Maka dapatlah disimpulkan bahwa hanya satu agama saja yang benar. Dengan argumentasi diatas, manusia diantarkan pada konsekwensi memilih dan mengikuti agama yang telah terbukti secara argumentative.
Diantara berbagai dahlil yang dapat diajukan, membicarakan keberadaan Tuhan adalah hal yang paling prinsipil. Keberadaan dan perbedaan agama satu dengan yang lainnya ditentukan oleh sosok “Tuhan” tersebut. Yang pasti, ciri-ciri keberadaan Tuhan (yang diciptakan/mahluk). Bertolak belakang dengan ciri-ciri khas manusia (Yang diciptakan/mahluk). Bila manusia adalah maujud tidak sempurna, bermateri, tersusun, terbatas, terindera dan bergantung. Maka Tuhan adalah zat yang maha sempurna, immateri, tidak tersusun, sederhana, tidak terdiri dari bagian, tidak terindera secara material dan tunggal (Esa/Ahad). Dengan demikia diketahuilah bahwa manusia dapat mengetahui ciri-ciri umum Tuhan, namun mustahil dapat mengetahui materi Zat-Nya. Manusia mengklaim dapat menjangkau zat Tuhan, sesungguhnya telah membatasi Tuhan denagn rasio(reason). Segala sesuatu yang terbatas, pasti bukan Tuhan. Ketika manusia menyebut “DiaMahaBesar”. Sesungguhnya ia lebih besar dari seluruh konsepsi manusia tentang kebesaran-Nya. Berdasakan hal tersebut, potensial akal (Intelect) manusia dalam mengungkap hakikat zat-Nya menyiratkan bahwa pada dasarnya seluruh mahluk diciptkan oleh-Nya sebagai manifestasi diri-Nya (inna illahi) yang kemudian akan kembali kepada-Nya (wa inna illahi raji’un) sebagai realisasi kerinduan manusia akan keabadian kesempuranaan. Kebahagiaan mutlak. keinginan untuk merefleksikan ungkapan terima kasih dan beribadah kepada Tuhan yang maha esa menimbulkan kesadaran bahwa ia maha adil mesti membimbing umat manusia tentang cara yang benar dan pasti dalam berhubungan dengan-Nya. Pembimbing Tuhan kepada setiap mahluk berjalan sesuai dengan kadar potensial dalam suatu cara perwujudkan yang suprarasional(wahyu) diberikan khusus kepada hamba-hamba-Nya yang memiliki ketinggian sprititual. Relasi konseptual tentang keMahabijaksana-an Tuhan untuk membimbing mahluk secara terus menerus dan kebutuhan abadi mahluk akan bimbingan memestikan kehadiran sosok pembimbing yang membawa risalah-Nya (rasul). Yang merupakan hak prerogative-Nya. Rasul adalah cerminan Tuhan di dunia. Kepatuhan dan kecintaan mahluk kepada mereka adalah niscaya. Pengingkaran kepada mereka identik dengan pengingkaran kepada Tuhan. Bukti kebenaran rasul untuk manusia ditunjukan pula oleh kejadian-kejadian kasat mata (empiris) luar biasa (mu’zijat bagi orang-orang awam) maupun bukti-bukti rasioanl (mu;zijat bagi orang intelektual) yang musthail dapat dilakukan oleh manusia lain tanpa dipelajari. Pemberian tanda istimewa kepada rasul akan semakin menambah keimanan seseorang. Mu’zijat juga sebagai bukti tambahan bagi siapa saja yang tidak mau beriman kepada Tuhan dan pesuruh-Nya. Kecuali bila diperlihatkan kepadanya hal-hal yang luar biasa. Kepatuhan dan kenyakian manusia kepada rasul melahirkan sikap percaya terhadap apapun yang dikatakan dan diperintahkannya. Kenyakian tentang kitab suci (bacaan atau kumpulan firman Tuhan disebut Al-Qur’an) yang dibawanya adalah konsekuensi lanjutan. Didalam kitab suci terhadap keterangan-keterangan tentang segala sesuatau sejak dari alam sekitar dan manusia, sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin dapat diterima oleh pandangan saintifik dan empiris manusia.
Konsepsi fitrah dan ‘rasio’ tentang Realitas Mutlak (Tuhan) diatas ternyata selaras dengan konsep teoritis tentang Tuhan dalam ajaran-ajaran Muhammad yang mengaku rasul Tuhan yang disembah selama ini. Muhammad mengajarkan kalimat persaksian/keimanan (syahadat) bahwa tidak ada (ia) Tuhan yang benar kecuali (illa) Tuhan yang merupakan kebenaran Tunggal/Esa/Ahad (Allah, dari al-ilah). Ia (Muhammad) juga menerangkan bahwa dialah rasul Allah (rasullullah). Menurut agama yang mengajarkan ketundukan dan kepatuhan pada kebenaran (Islam) pada ummatnya ini (muslim). Proses pencarian kebenaran dapat ditempuh dengan berbagai jalan, baik filosofis, intuitif, ilmiah, historis dan lain-lain dengan memperhatikan ayat-ayat Tuhan yang terdapat didalam kitab suci maupun dialam ini. Konsekuensi lanjut setelah menusia melakukan pencarian ketuhanan dan kebahagiaan. Keabadian dan kesempurnaan. Ketidakmungkinan mewujudkan keinginan-keinginan ideal tersebut didalam kehidupan kehidupan didunia yang bersifat temporal ini melahirkan konsep tentang keberadaan hari akhirat yang sebelumnya dimulai dengan terjadinya kehancuran alam secara besar-besaran (qiyamah/kiamat-kiamat hari agama/ yaum ai-din) sebagai konsekuensi logis keadilan Tuhan. Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah dan duniawi. Disana tidak ada lagi historis seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat yang menimbulkan ganjaran dosa/pahala. Kehidupan akhirat merupakan refleksi perbuatan berlandaskan iman, ilmu dan amal selama didunia. Dengan kata lain, ganjaran di akhirat adalah kondisi obyektif dari relasi manusia terhadap manusia Tuhan dan alam.
BAB III : HAKEKAT PENCIPTAAN DAN EKSKATOLOGI ( MA’AD)
Salah satu prinsip dasar pandangan dunia yang merupakan pondasi penting bagi keimanan Islam adalah kepercayaan akan adanya kebangkitan dihari akhirat (kehidupan sesudah mati). Beriman kepadanya karena merupakan suatu persyaratan hakiki untuk dapat disebut muslim. Meningkari kepercayaan ini dapat dipandang sebagai bukan muslim. Sebelum masuk kebahasan tentang kehidupan sesudah mati maka masalah tujuan dari penciptaan harus terlebih dahulu kita selesaikan, apakah yang memiliki tujuan dari penciptaan itu Tuhan ataukan mahluk ? dan manakah tujuannya ?. untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut haruslah bersandar pada landasan-landasan metafisika Islam sehingga kosekuensi-kosekuensi yang dilahirkan dari pilihan jawaban kita akan dapat terselesaikan dengan tanpa keraguan. Jawaban ini juga akan menjelaskan kepada kita bahwa tujuan dari seluruh ciptaan adalah begerak menuju sesuatu yang sempurna dan kesempurnaan yang tertinggi adalah Tuhan maka dialah yang menjadi tujuan dari seluruh gerak ciptaan. Bahasan tujuan penciptaan itulah yang menjadi awal untuk selanjutnya kita masuk dalam pembahasan kehidupan sesudah matu (Eskatologi). Asal dan sumber dari kepercayaan tentang adanya hari akhirat ini mestilah dibuktikan melalui argument-argumen filosofis sehingga tidak ada sedikitpun alasan yang dapat dikemukakan (oleh mereka yang belum mempercayai wahyu illahi) untuk meragukannya. Kesungguhan beragama terpacu dengan sendirinya bila kesadaran akan adanya hari akhirat (kehidupan kekal) sebagai sesuatu yang mutlak atau pasti terjadi. Sehingga oleh para nabi dan rasul kepercayaan kepada Ekskatologi (Ma’ad) merupakan prinsip kedua setelah Tauhid.
Tema-tema yang membicarakan masalah kehidupan kahirat ini atau kehidupan sesudah mati dari segi pandangan islam berkenaan dengan maut, kehidupan sesudah mati, alam barzakh, hari pengadilan besar, hubungan antara manusia serta ganjaran-ganjarannya, kesamaan dan perbedaan antara kehidupan dunia sekarang dan didunia akan datang. Argument-argumen Al-Qur’an dan bukti-bukti tentang dunia akan datang, keadilan Tuhan, kebijaksanaan Tuhan. Sepanjang kehidupan baik diduni aini maupun diakhirat, kebahagiaan kita sangat tergantung pada keimanan pada hari tersebut. Karena ia mengingatkan mausia kan akibat-akibat dari tindakan-tindakannya. Dengan cara ini manusia menyadari bahwa mulai dari yang paling besar hingga kepada yng paling kecil, mempunyai awal dan akhir, sebagaimana mahluk manusia itu sendiri. Tetapi manusia hendaknya tidka berpikir bahwa semuanya itu berakhir pada masa kehidupan duni aini atau periode ini saja. Sebab segala itu tetap ada dan akan dimintai pertanggung jawaban pada hari periode kedua.
Kebahagiaan manusia pada hari itu bergantung pada kepercayaan pada hari atau periode kedua tersebut. Karena pada hari kedua (periode kedua tersebut) manusia akan diganjar atau dihukum sesuai perbuatan-perbuatannya. Itulah sebabnya maka menurut islam beriman kepada hari kebangkitan dipandang sebagai tuntutan yang hakiki bagi kebahagiaan manusia.
BAB IV : MANUSIA DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAN
Satu hal yang mesti dilakukan sebelum kita membicarakan hal-hal lain dari manusia adalah sebuah pertanyaan filosofis yang senantiasa hadir pada setiap manusia itu sendiri, yakni apak sesungguhnya manusia itu ? dari segi aspek apakah manusia itu mulia atau terhina ? dan apa tolak ukurnya ? tentu manusia bukanlah mahluk unik dan sulit untuk dipahami bila yang ingin dibicarakan berkenaan dengan aspek basyariah (filosofis)nya. Karena cukup dengan mempelajrai anatomi tubuhnya kita dapat mengetahui bentuk atau struktur terdalamnya. Tetapi manusia selain merupakan mahluk basyariah (dimensi fisiologis) dan Annaas (dimensi sosiologis) ia juga memiliki aspek insane (dimensi psikologis) sebuah dimensi lain dari diri manusia yang paling sublime serta memiliki kecenderungan yang paling kompleks. Dimensi yang disebut terakhir ini bersifat spiritual dan intelektual dan tidak bersifat material sebagiman merupakan kecendurngan aspek basyariah.
Dari aspek inilah nilai dan derajat manuisa ditentukan dengan kata lain manusia dinilai dan dipandang mulia atau hina tidak berdasarkan aspek bayariah (fisiologis). Sebagai contoh cacat fisik tidaklah dapat dijadikan tolak ukur apakah manusia itu hina dan tidak mulia tetapi dari aspek inslah seperti pengetahuan, moral dan mentallah manusia dinilai dan dipahami sebagai mahluk mulia atau hina
Dalam beberapa kebudayaan dan agam manusia dipandang sebagai makhluk mulia dengan tolak ukurnya bahwa manusia merupakan pusat tat surya. Pandang ini didasarkan pada pandangan plotimius bahwa bumi merupakan pusat seluruh tata surya. Seluruh benda-benda langit “berhikmat” bergerak mengitari bumi. Mengapa demikian ? karena di situ mahluk mulia bernama manusia bercokol. Jadi pandangan ini menjadikan kitaran-kitaran benda-benda langit mengililingi bumi sebagai tolak ukur kemuliaan manusia. Namun seiring dengan kemajuan sains pandangan ini kemudian ditinggalkan dengan tidak menyisakan nilai mulia pada manusia. Para ahli astronomi justru membuktikan hal sebaliknya bahwa bumi bukanlah pusat tata surya tetapi matahari. Manusia tidak lagi dipandang sebagai mahluk mulia bahkan dianggap tidak ada bedanya dengan hewan adapun geraknya tak ada bedanya dengan mesin yang bergerak secara mekanistis. Bahkanlebih dari itu dianggap tak ada bedanya materi, adapun jiwa bagaikan energy yang dikeluarkan oleh batu bara. Karena itu wajar bila manusia dan nilai-nilai kemanusiaan tiak lagi dihargai. Maka datanglah kaum humannisme berupaya mengangkat harkat manusia, dengan memandang bahwa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, pengetahuan ilmiah dan kebebasan merupakan hal esensial yang membedakan manusia dengan selainnya. Tetapi bila itu tolak ukurnya, lantas haruskan orang seperti Fira’un atau Jengis Khan yang dapat melakukan apa saja terhadap bangsa-bangsa yang dijajahnya dipandang mulia ? jika berilmu pengetahuan merupakan tolak ukurnya. Lantas apakah dengan demikian orang-orang seperti Einstein yang paling berilmu tinggi abab 20 atau para sarjana-sarjana itu lebih mulia dari seorang Paulus Yoahnes paus II, ibu Tereisa atau Mahadma Ghandi bagi ummatnya masing-masing? Sungguh semuat itu termasuk ilmu pengetahuan sepanjang peradaban kemanusiaan manusia tidak mampu mengubah dan memperbaiki watak jahat manusia untuk kemudian mengangkatnya menjadi mulia. Lantas, apa sesungguhnya tolak ukur kemanusiaan itu ? sungguh dari seluruh bentuk-bentuk konsepsi tentang manusia yang ada dimuka bumi tak satu pun yang dapat menandingi paradigm (tolak ukurnya) serta tidak ada yang lebih representif dalam memupuk psikologisnya kerah yang lebih mulia dari apa yang ditawarkan Islam. Dalam konsepsi Islam Tuhan(Allah) dipandang sebagai sumber segala kesempurnaan dan kemuliaan. Tempat bergantung (tolak ukur)segala sesuatau. Karena itu pula sebagimana diketahui dalam konspsi Islam, manusia ideal (insane kamil) dipandang merupakan manifestasi Tuhan termulia dimuka bumi dan karenanya ditugaskan sebagai wakil Tuhan yang dikenal sebagai khalifah/nabi atau rasul (QS.2.30). karena itu, ciri-ciri kemuliaan Tuhan tergambar/termanifestasikan pad adirinya (QS.33.21) sebagai contoh real yang terbaik (uswatun hasanah) dari “gambaran/cerminan” Tuhan dimuka bumi (QS.68.4). dengan kata lain bahwa karena nabi merupakan representasi (contoh) Tuhan di muka bumi bagi manusia dengan demiak nabi/rasul/khalifah sekaligus merupakan representasi yakni insane kamil (manusia sempuran) dari seluruh kualitas kemanusiaan manuisa. Tetapi walupun manusia dipandang sedemikian rupa dengan nabi sebagai contohnya. Pada saat yang sama bahkan lebih rendah dari binatang. Dengan demikian keidentikan kepadanya (khalifah/nabi/rasul) merupakan tolak ukur kemuliaan kemanusiaan manusia dan sebaliknya berkontraksi dengannya merupakan kebejatan dan dianggap sebagai syaitan (QS.6:112).
BAB V : KEMERDEKAAN MANUSIA (IKHTIAR MANUSIA) DAN KENICAYAAN UNIVERSAL (TAQDIR ILAHI)
Sebagai mahluk Tuhan yang ditetapkan sebagai wakil Tuhan (QS.2:30) manusia berbeda dengan batu, tumbuhan maupun binatang. Batu ketika menggelinding dari sebuah ketinggian bergerak berdasarkan tarikan gravitasi bumi tanpa ikhtiar sedikitpun begitu pula halnya tumbuhan yang tumbuh hanya dibawah kondisi tertentu atau sebagai binatang yang bertindak berdasarkan naluri ilmiahnya. Ketiga mahluk ini bergerak atau bertindak tidak berdasarkan ikhtiari. Namun bagi manusia, ia merupakan mahluk yang senantiasa dihadapkan pada berbagai pilihan-pilihan, dan hanya dengan adanya sintesa antara ilmu dan kehendak yang berasal dari Tuhannya ia dapat berikhtiar (memilih) yang terbaik diantara pilihan-pilihan tersebut. Tanpa ilmu tentang hal-hal ideal ataupun keharusan-keharusan universal maka meniscayakan ketiadaan ikhtiar dan begitu pula ketiadaan kehendak atau keinginan maka ia pun memilih, orang gila(tidak berilmu) dan pingsan (tak berkehendak) adalah bukti nyata ketiadaan ikhtiar. Sementara, ketiadaan ikhtiar bukti ketiadaan kebebasan dan itu memustahilkan terwujudnya kemerdekaan. Jadi ia merupakan mahluk berikhtiar yang hanya dapat bermakna bila berhadapan diantara keharusan-keharusan universal (takdir). Keharusan-keharusan universal atau yang biasa disebut sebagai takdir takwini ataupun takdir tasri’I baik yang bersifat defenetif(Dzati) maupun tidak bersifat defenetif (Sifati) bukanlah berarti bahwa manusia sesungguhnya hanya sebuah robot yang bergerak berdasarkan scenario yang telah dibuat Tuhan, tetapi hendaklah dipahami bahwa takdir tidak lain sebagai sebuah prinsip akan terbinanya system kausalitas umum (bahwa akibat mesti berasal dari sebab-sebab khususnya, dimana rentetan kausalitas tersebut berakhir pada sebab dari segala sebab yakni Tuhan) atas dasar pengetahuan dan kehendak illah yang maha bijak. Takdir takwini (ketetapan penciptaan) tiada lain merupakan prinsip kemestian yang mengatasi system penciptaan alam dan takdir tasri’i (ketetapan syariat) merupakan prinsip kemestian yang mengatur system gerak individu, maupun masyarakat dari segi sosiologis dan spiritual.
Memahami konsep takdir sebagai sebuah scenario yang telah ditetapkan oleh Tuhan meniscayakan ketiadaan keadilan Tuhan dan konsep pertanggungjawaban. Sebaliknya bila takdir tidaklah dipahami sebagaimana yang telah didefenisikan diatas (yakni takdir takwini sebagai sebuah system yang mengatur proses penciptaan dan takdir tasri’i sebagai ketetapan yang mengatur kehidupan etik, social dan spiritual individu dan masyarakat). Maka itu berarti bahwa pada proses kejadian fenomena alam, panas dapat membuat air menjadi beku dan sekaligus mendidih. Berbuat baik akan mendapat surge dan sekaligus neraka, atau pujian sekaligus cacian. Bila demikian adanya maka yang terjadi adalah disatu sisi akan terjadi kehancuran pada alam, individu dan masyarakat, disisi lain memustahilkan adanya pengetahuan pasti tentang meninginkan mendidih atau beku, surge atau neraka dan karena pula meniscayakan mustahilnya ikhtiar. Artinya ikhtiar itu menjadi berarti hanya bila pada realitas terhadap hokum-hukum yang pasti (takdir) atau dengan kata lain ikhtiar pada awalnya berupa potensial dan ia menjadi actual bila terdapat adanya dan diketahui takdir tersebut. Karena itu pula dapat dikatakan tanpa takdir tidak ada ikhtiar.
Sebaliknya ketiadaan potensi ikhtiar pada manusia meniscayakan takdir menjadi tiak bermakna/berlaku. Bagi orang-orang gila dan yang belum baligh (bayi) tidak dapat memanfaatkan hukum-hukum penciptaan untuk membuat sesuatu teknologi apapun. Bagi mereka hukum-hukum syariat tidak diberlakukan. Dengan demikian takdir illahi itu sendiri mengharuskan adanya ikhtiar bagi manusia agar dengan begitu takdir-takdir pada alam dapat dipergunakan, dimanfaatkan atau secara umum dapat dikatakan bahwa keadilan illahi sebagai keharusan universal itu sendiri meniscayakan adanya ikhtiar dan takdir. Tanpa ikhtiar maka takdirpun tidak bermanfaat dan tidak berlaku, sebaliknya tanpa takdir meniscayakan ketiadaan kebebasan, memustahilkan terwujudnya kemerdekaan. Kebebasan dan kemerdekaan tidaklah bermakna sama. Kemerdekaan tidak dipredikatkan kepada binatang kecuali pada manusia tetapi sebaliknya manusia dan binatang dapat dipredikatkan bebas atau mendapat kebebasan. Sebab bila kebebasan merupakan tujuan akhir maka kebebasan menjadi deterministic itu sendiri, dalam arti bahwa ia tidak lagi berbeda dengan sebuah ranting ditengah lautan yang bergerak kekiri dan kekanan dikarenakan arus dan bukan berdasarkan pilihannya. Kebebasan hanya merupakan syarat (mesti) awal dalam menggapai cita-cita ideal (kesempurnaan Tuhan) sebagai tujuan akhir dan inilah yang dimaksud dengan kemerdekaan. Kebebasan individu bukan berarti kebebasan mutlak yang mana kebebasan hanya dibatasi oleh kebebasan orang atau individ yang lain. Sebab definisi kebebasan itu tersebut adalah system etik yang hanya menguntunkan orang-orang kuat dan mendeskreditkan orang-orang lemah. Ini karena bagi orang kuat kebebasan itu sendiri telah dapat membungkam orang-orang lemah, dengan kata lain eksisten orang-oran lemah tidak memiliki daya untuk membatasi orang-orang kuat. System ini hanya berlaku bagi individu-individu yang sama-sama memiliki kekuatan. Atau kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain karena kebebasan orang lain tersebut lebih kuat.
Sesungguhnya kebebasan individu bukanlah demikian. Kebebasan individu berarti bahwa secara social dalam interaksinya dengan orang lain ia tidak berada pada posisi tertindas dan secara spiritual ia tidak berada dalam posisi menindas. Kebebasan bukan berarti memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan dalam melakukan apa saja tetapi dalam arti untuk tidak memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan (menahan diri) untuk membalas mereka menindas seketika ia berada pada posisi memiliki kesempatan untuk itu, dan ini adalah satu pengertian kemerdekaan manusia dan keharusan universal.
BAB VI : INDIVIDU DAN MASYARAKAT
Salah satu sifat khas manusia sebagai mahluk dan karenanya ia berbeda dengan binatang adalah bahwa ia merupakan mahluk yang diciptkan selain sebagai mahluk berjiwa individual, bermasyarakat merupakan kecenderungan alamiah dari jiwanya yang paling sublime. Kedua aspek ini mesti dipahami dan diletakan pada porsinya masing-masing secara terkait. Sebab yang pertama melahirkan perbedaan dan satunya melahirkan kesatuan. Karena itu mencabut salah satunya dari manusia itu berarti membunuh kemanusiaannya. Dengan kata lain bahwa perbedaan-perbedaan (bukan pembedaan-pembedaan) yang terjadi antara setiap individu-inidividu (sebagai identitas dari jiwa individual) merupakan prinsip kemestian bagi terbentuknya masyarkat dan dinamikanya. Sebab bila sebuah masyakarat, individu-individu haruslah memiliki kesamaan, maka ini berarti dinamisasi, dalam arti saling membutuhkan pastilah tidak terjadi dan karenannya makna masyarakat menjadi kehilangan konsep. Di sisi lain dengan adanya perbedaan-perbedaan diantara para individu meniscayakan adanya saling membutuhkan, member dan kenal-mengenal dan karena itu konsep kemanusiaan memiliki makna.
Disisi lain kecenderungan manusia untuk hidup bermasyarakat merupakan kecenderungan yang bersifat fitri. Ia tidak bedanya hubungan seorang laki-laki dan perempuan yang berkeinginan secara fitri membentuk sebuah keluarga. Jadi ia membentuk masyarakat karena adanya hubungan individu-individu yang terkait secara fitrah dan alamiah untuk membentuk sebuah komunitas besar. Bukan terbentuk berdasarkan sebuah keterpaksaan, sebagaiman beberapa individu-individu berkumpul dikarenakan adanya serangan dari luar. Bukan juga berdasarkan proses sebagai langka terbaik dalam memperlancarkan keinginan bersama sebagaimana sejumlah individu berkumpul dan sepakat berkerja sama sebagai langkah terbaik dalam mencapai tujuannya masing-masing karena itu masyarakat didefinisikan sebagai adanya kumpulan-kumpulan dari beberapa individu-individu secara fitri maupun suka dan duka dalam mencapai tujuan dan cita-cita bersama adalah membentuk apa yang kita sebut sebagai masyarakat. Kumpulan dari sejumlah individu adalah “badan” masyarakat adapun kesepatakatan atau tidak dalam mencapai cita-cita dan tujuannya idealnya adalah merupakan “jiwa” masyarakatnya. Karena itu selain bumi (daerah/tempat tinggal) dan system social (ikatan psikologis antara individu-individu), individu merupakan salah satu unsur terbentuknya sebuah masyarakat. Tanpa manusia (individu) maka masyarakat pun tidak ada. Masyarakat itu sendiri merupakan senyawa sejati, sebagaimana senyawa alamiah. Yang disentesiskan disini adalah jiwa, pikiran cita-cita serta hasrat. Jadi yang bersentesisk adalah bersifat kebudayaan. Jadi, individu dan masyarakat memiliki eksistensi (kemerdekaan) masing-masing dan memiliki kemampuan mempengaruhi yang lain. Bukan kefisikan. Walaupun begitu eksistensi individu dalam kaitannya tehadap masyarakat mendahului eksistensi masyarakat. Memandang bahwa eksistensi masyarakat mendahului individu berarti kebebasan dan kemanusiaan telah dicabut dari manusia (individu) itu sendiri. Walaupun manusia memiliki kaulitas-kaulitas kesucian, potensi tersebut dapat saja teraktual secara sempuran dikarenakan adanya kekuatan lain dalam diri manusai berupa hawa nafsu ini mulai teraktual dikala interaksi antara individu dengan individu lain dalam kaitannya dengan bumi (harta benda). Bahkan keserakahan ini dapat saja berkembang ke dalam bentuk yang lebih besar sebagaiman mana sebuah bangsa menjajah bangsa lain. Fenomena ini dapat mengancam kehidupan manusia dan kelestarian alam. Dengan demikian pertanggungjawaban ini bagi setiap individu, selain bersifat individual juga bersifat kolektif. Ini karena, pertanggung jawaban individual terjadi ketika sebuah perbuatan memiliki dua dimensi yaitu : si pelaku (sebab aktif) dan sasaran yang siapkan oleh pelaku (sebab akhir). Apabila dalam perbuatan tersebut terdapat dimensi ketiga, yakni sasaran atau peluang yang berikan untuk terjadinya perbuatan tersebut dan lingkup pengaruhnay (sebab material). Maka tindakan tersebut menjadi tindakan kolektif. Jadi masyarakat adalah hak yang memberikan landasan bagi tindakan kolektif dan membentuk sebab material. Ini berarti, individu memilik andil besar dalam mengubah wajah bumi atau mengarahkan perjalanan sebuah masyarakat kearah yang sempurna atau kehancuran.
Tidak ada jalan lain bahwa untuk menghadapi ancaman-ancaman ini, manusia memerlukan adanya sebuah system social yang adil yang memiliki nilai sakralitas dan kesucian dan berdasarkan tauhid (keTuhanan yang maha esa). Mengajarkan sebuah pandangan dunia bahwa segala sesuatu milik Tuhan. Dihadapan Tuhan tidak ada kepemilikan manusia, kecuali apa yang dititipkan dan diamanahkan kepadanya untuk mengatur dan mendistribusikan secara adil. Kesadaran akan sakralitas dan kesucian system tersebut memberika implikasi kehambaan terhadap Tuhan. Berdasarkan kesadarn dan pertimbangan implikasi kehambaan terhadap Tuhan. Berdasarkan kesadaran dan pertimbangan seperti itu maka interaksi antara individu dengan individu lainnya dalam hubungannya terhadap alam berubah dari watak hubungan antara tuan/raja dan budak menjadi hubungan antara hamba Tuhan dengan hamba Tuhan yang lain dengan mengambil tugas dan peran masing-masing berdasarkan kapasitas-kapasitas yang diberikan dalam menjaga, mengurus, mengembangkan, mengelolah, mendistribusikan dan lain-lain. Karena itu berdasarka fitrah/ruh Allah seorang manusia (individu) diciptakan dan ditugaskan sebagai khalifah/nabi/rasul (wakil/utusan Tuhan) oleh Allah dimuka bumi (QS.2:30) untuk memakmurkan bumi dan membangun dan masyarakatnya untuk memwujudkan system social.
BAB VII : KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI
Keadilan menjadi sebuah konsep yang sering diartikan secara berbeda oleh setiap orang utamanya mereka-mereka yang mengalami suatu ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini menuntut secara tegas perlu dilakukan redefinisi terhadap apa yang dimaksud dengan keadilan. Bila keadilan diartikan sebagai tercipta suatu keseimbangan dan persamaan yang proporsional maka pemecahan permasalahan keadilan social dan ekonomi hanya dapat teratasi dengan menemukan jawaban terhadap sebab-sebab terjadinya ketidakadilan social dan ekonomi serta bagaimana agar dalam distribusi kekayaan dapat terbagi secara adil sehingga terhindar dari terjadinya diskrimisasi dan pengutuban, atau kelas dalam masyarakat.
Jelas terlihat dari problem yang dihadapi bahwa kasus keadilan social dan ekonomi bukanlah merupakan wilayah garapan ilmu ilmiah (positif). Karena masalah keadilan bukanlah fenomena empiris yang dapat diukur secara kuantitatif. Namun ia merupakan konsep abstrak yang berkenaan dengan aspek kebijakan-kebijakan praksis, karena itu ia merupakan garapan filosofis dan bersifat ideologis. Itulah sebabnya dalam menjawab masalah diatas setiap orang atau kelompok memiliki jawaban dan konsep yang berbeda sesuai dengan idologi, kandungan batinnya serta kapasitas pengetahuannya. Kapitalisme sesuai dengan konsepnya tentang manusia yang berkenaan dengan karakter dasar dan tujuan akhir manusia bahwa manusiapada dasarnya bersifat baik dan lemah, cenderung meyakini bahwa penyebab terjadinya diskriminasi serta tidak terjadinya distribusi kekayaan secara tidak adil dikarenakan dipasungnya kebebasan individu oleh masyarakat, pemerintah, individu lain disatu sisi dan di sisi lain tidak adanya aturan-aturan yang manjamin kepentingan-kepentingan individu. Berdasarkan ini upaya menciptakan keadilan social maupun ekonomi bisa terwujud hanya dengan cara memberikan kebebasan secara mutlak, yakni kesempatan ekonomi yang seluas-luasnya kepada setiap individu dimana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan orang lain, meskipun kebebasan ini justru dapat menyebabkan perbedaan pendapatan dan kekayaan individu (dengan asumsi bahwa orang menggunakan kebebasannya secara sama dalam system kapitlasi).
Sebaliknya sosialisme yang didasarkan pada konsepnya tentang manusia dan pandangan hidupnya yang melihat penyebab terjadinya diskriminasi social dan ekonomi sehingga terciptanya kelas-kelas dalam masyarakat dimana yang satu semakin miskin dan yang lain semakin kaya dikarenakan adanya kekuatan yang menghambat proses berubahnya kesadaran kolektif dari kesadaran-kesadaran kepemilikan pribadi ke pemilikan social (bersama). Karena itu untuk menciptakan keadilan social dan ekonomi, maka tidak ada cara lain kecuali diperlukan suatu system social yang berfungsi mengatur atau merwat dalam hal menghilangkan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi ketempatnya yang sebenarnya yaitu kepemilikan bersama (seluruh anggota masyarakat harus memiliki pendapatan dan kekayaan yang sama) yang dalam hal ini diwakili oleh Negara dengan cara menasionalisasikan alat-alat produksi tersebut.
Adapun menurut islam kepemilikan pribadi bukanlah penyebab terjadinya malapetaka kemanusiaan yang disangka oleh kaum sosialis komunisme. Bahkan sebaliknya kepemilikan pribadi yang semata-mata materialistic justru penyebab kehancuran system kapitalis. Setiap konsep keadilan akan menemui jalan buntu jika ia tak seiring dengan naluri dasar alamiah manusia yaitu kepentingan individu atau apa yang sering disebut sebagai ego. Itulah sebabnnya mengapa ketika seluruh alat-alat produksi telah dinasionalisasikan yang kemudian diamanahkan kepada Negara yang nota bene adalah terdiri dari individu-individu sebagai pengelolahnya kemudian berubah menjadi kapitalisme atau borjuis-borjuis baru yang dictator dan menganggap diri mereka tuan (penguasa bagi unit-unti yang mereka pimpin). Artinya adalah penghapusan kepemilikan pribadi tidak dapat mengubah mentalitas manusia yang punya kecenderungan egoistic. Bagi islam satu-satunya jalan yang dapat mengatasi masalah ketidakadilan adalah dengan memberikan jaminan pendapatan tetap, dengan kemungkinan mendapatkan lebih banyak serta mengubah konsepsi manusia tentang manusia dan pandangan hidupnya dari semata-mata bersifat materialitstik kekesadaran teologis dan ekskatologis, tanpa memasung atau bahkan mamatikan naluri alamiahnya. Adalah suatu kemustahilan disatu sisi ketika kesadaran teologis dan ekskatologis telah dimusnahkan dari pandangan dunia seseorang dan disisi lain dengan menghilangkan kepemilikan atau kepemilikan pribadi kemudian serta merta ia berubah dari individualis menjadi seorang pribadi yang sosialis(bukan sosialisme).
Menurut Islam ego (kepentingan pribadi) merupakan suatu kekuatan yang diletakkan oleh Allah dalam diri manusia sebagai pendorong. Kekuatan ini dapat mendorong manusia untuk melakukan hal yang diskriminatif, serakah dan merusak tetapi ia juga dapat mendorong manusia untuk mencapai kualitas spriritual yang paripurna (insane kamil). Karena itu islam tidak datang untuk membunuh ego dengan seluruh kepentingannya, namun ia datang untuk memupuk, membina dan mengarahkannya secara spriritual dengan suatu kesadaran teologis(TAUHID) dan ekskatologis (MAAD)
Bagi islam penyebab terjadinya social dan ekonomi atau dengan kata lain penyebab terjadinnya kelas-kelas dalam masyarakat disebabkan oleh tidak adanya kesadaran tauhid. Hal ini dapat dilihat ketika Al-Qur’an menceritakan mental Fir’aun yang sewenang-wenang sehingga disatu sisi sebagai penyebab terjadinya kelas-kelas (penduduk pecah belah), (QS.28:4) dengan menobatkan dirinya sebagai Tuhan (QS.28:38-39), karena itu untuk kepentingan mengatasi hal in iislam mengajarkan untuk merealisasikan suatu konsep yaitu sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an yang artinya : … tidak kita sembah Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatau dan tidak (pula) sebagaian kita menjadikan sebagaian yang lain sebagai tuhan selain Allah(QS.3.64).
Adapun disisi lain penyebab terjadinya ketidakadilan ekonomi (yang miskin semakin miskin dan sebaliknya) disebabkan tidak berjalannya system tauhid (pelaksanaan syariat) karena itu Al-Qur’an menegaskan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) taurat, injil dan apa yang diturunkan kepada mereka dari Tuhan mereka, niscaya mereka akan mendapatkan makanan dari langit atas mereka dan dari bawah kaki mereka(QS.5:66) atau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (QS.7:96) atau bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus diatas jalan itu (Agama islam; melarang praktek riba, serta menganjurkan atau bahkan mewajiban khumus, Jis’ah, sedekah, infak, zakat dll) niscaya benar-benar kami akan memberikan minuman kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak, QS.72:16). Artinya menurut islam bahwa prinsip dari hubungan khusus antara ketidak sesuai dengan perintah-perintah Tuhan disatu sisi dengan kemakmuran disisi lain atau dalam bahasa modernnya, hubungan distribusi yang adil dengan peningkatan produksi, yakni bahwa tidak akan terjadi kekurangan produksi dan kemiskinan bila distribusi yang adil terlaksana. Dengan kata lain distirbsui yang adil akan mendongkrak kekayaan dan meningkatkan kemakmuran sebagai bukati “berkah dari langit dan bumi” telah tercurahkan.
Dengan persfektif yang demikian selanjutnya akan melahirkan kesadaran kemanusiaan yang tinggi sebagai bentuk manifestasi dari pengabdian serta kecintaa kita kepada Allah SWT. Disamping itu, guna menegakkan nilai keadilan dan ekonomi dalam tataran praktis diperlukan kecakapan yang cukup. Orang-orang yang memiliki kualitas inilah yang layak memimpin masyarakat. Memimpin adalah mengeakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya dan dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawba social. Lebih jauh lagi, Negara dan pemerintah sebagai bentuk yang terkandung didalamnya adalah untuk menciptkan masyarakat yang berkeadilan, baik berupa keadilan social maupun keadilan ekonomi. Dan hanya setelah terpenuhinya pra-syarat inilah Negara ideal sebagai dicita-citakan bersam (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur) dapat diwujudkan.
Tidak diragukan lagi dari kajian yang konprehensif dan holistic dapat mengantar kita pada satu kebenaran rasional idelogi (syariat) islam yang telah mengajarkan akan persaduraan, keadilan dan kesamaan hak untuk diamalkan oleh setiap muslimin, khusunya, sampai keapda sector-sektor produksi social ekonomi dan pembagain kekayaan. Atau hokum-hukum yang lebih bersifat spesifik menyangkut hal-hal yang memerlukan rincian, sperti pemafaatan lahan pertanian, penggalian mineral, sewa-menyewa, bunga, zakat, khumus (yakni mengeluarkan 20%-30% dari keuntungan bersih) dan pembelanjaan umum dan lain sebagainya yang dikelola langsung oleh Negara, atau lembaga social dibawah control masyarakat dari Negara yang berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan.
BAB VIII : SAINS ISLAM
Sains dalam sejarah perkembangan seringkali dinaturalisasikan sebagai pandangan upaya pencocokan terhadap nilai-nilai budaya, agama atau pandangan-pandangan tertentu suatu masyarakat. Asimilasi dan akulturasi inilah yang kemudian menjadi bentuk baru (khas) sebuah peradaban, rasionalisme di yunani dan positivism di Eropa adalah contoh-contohnya. Naturalisasi terhadap sains itu sendiri dilakukan sebab sains diakui memiliki kekuatan yang ambigu. Disatu sisi ia dapat mengembangkan suatu masyarakat karena kemampuannya mengatasi masalah-masalah praktis dan prkmatis manusia itu sendiri sehingga membawa mereka kea rah peradaban baru yang lebih maju, disisi lain dengan kemampuan yang sama, ia juga memiliki sifata destruktif untuk menghancurkan atau merombak nilai-nilai budaya, agama maupun spriritualistas atau masyarkat.
Positivism misalnya merupakan hasil sebuah naturaliasi sains didunia masyarakat Eropa dan telah dipandang sebagai kebenaran. Sains ini (positivisme) adalah sebuah sains yang memiliki watak atau karakter yang bersifat materialistic yaitu sains menolak hal-hal yang bersifat metafisis, spiritual maupun mistis karenannya dalam karakternya yang demikian sains ini dapat menghancurkan atau melunturkan konsep-konsep teologi dan nilai-nilai keagamaan lainnya. Sehingga bukanlah hal yang berlebihan bila beberapa pemikir muslim melakukan islamisasi sains terhadap sains-sains modern (sains positivisme) sebagai sbuah bentuk keseriusan mereka dalam menjawab hal ini dan sekaligus sebagai wujud dari naturalism sains di dunia islam, sehingga pengaruhnya yang negative terhadap gagasan metafisi (teologis dan ekskatologi) dan nilai-nilai agama islam lain dapat dihindari. Hasil dari upaya islamisasi sains ini inilah yang kitas sebut sains islam. Islamisasi sains atau sains islam dapat dimulai dengan menggas untuk meletakkan dasar bagi landasan epistimologinya yaitu dengan membuat klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan basis ontologinya serta metodologinya yang sesuai dengan semngat (Spirit) islam itu sendiri, yakni teologi (tauhid), ekskatologi (Ma’ad), serta kebebasan.
Islamisasi sains dengan pelabelan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits yang dipandang sesuai dengan penemuan sains mestilah dihindari, karena kebenaran-kebenaran al-Qur’an bersifat abadi dan universal, sementara kebenaran-kebenaran sains modern selain bersifat temporer dan hanya benar dalam lingkup ruang dan waktu tertentu, sains in juga bersifat materialistic atau positivistic. Pendekatan demikian akan mengalami jalan buntuk dengan berubah teori-teori sebelumnya dengan ditemukan teori-teori baru. Dengan demikian ayat-ayat yang tadinya dipandang relevan dengan teori-teori sebelumnya, atau menjadi dipertanyakan relevansinya.