Wednesday, January 18, 2012

Revitalisasi Administrasi Negara: Reformasi Birokrasi dan e-Governance

Reformasi birokrasi pemerintahan sangat mendesak untuk dilakukan ketika dikaitkan di berbagai perubahan dalam konteks global, antara lain perubahan paradigma kekuasaan yang terjadi dengan dinamis selama periode pertengahan abad 20 sampai awal abad 21. Gelombang demokrasi yang di tandai dengan kemerdekaan negara-negara bekas jajahan, peralihan kekuasaan dari rezim otoritarian, dan kecenderungan sentralistik dan runtuhnya komunisme membawa perubahan yang berarti dalam sistem dan relasi kekuasaan menjadi lebih demokratis dan terdistribusi (desentralisasi).
Perkembangan administrasi publik baru tidak dapat dilepaskan dari perkembangan berbagai paradigma dalam ilmu administrasi publik. Paradigma dapat diartikan sebagai perspektif yang dimiliki oleh komunitas keilmuan yang terbentuk dari keinginan dan komitmen (konseptual, teoritis, metodologis, instrumental). Nicholas Henry (1995), menurutnya terdapat 5 paradigma ilmu administrasi publik : 1) Dikotomi politik dan administrasi publik; 2) Prinsip-prinsip administrasi; 3) Administrasi negara sebagai ilmu politik; 4) Administrasi negara sebagai ilmu administrasi; 5) Administrasi publik sebagai administrasi publik. Ilmu administrasi publik secara sensitif harus mampu menanggapi isu-isu politik dalam masyarakat dan mampu memformulasikan ke dalam suatu rumusan kebijakan yang implementatif. Birokrasi pada dasarnya merupakan suatu bentuk organisasi modern yang di bentuk karena sekelompok orang berusaha mencapai tujuan bersama. Ketika birokrasi terpusat (sentralistik) birokrasi di jadikan sebuah alasan pembenar pada saat terjadinya mismekanisme atau unsystem beuracratic. Permasalahan yang di hadapi birokrasi sesungguhnya sangat kompleks. Kondisi ini tidak hanya di alami di Indonesia tapi juga di Negara-negara lain. Dalam praktiknya di pemerintahan Indonesia, administrasi publik banyak menghadapi masalah yang saling berkaitan dengan masa lalu. Perkembangan paradigma administrasi negara ke administrasi publik telah mendorong penyesuaian keadaan di indonesia terutama sejak reformasi dilancarkan dan paradigma administrasi publik mengalami pergeseran makna ke arah pendekatan birokrasi. Pendekatan birokrasi ini mencoba menggagas posisi administrasi publik yang sesungguhnya ada pada pelaksanaan birokrasi.
Sering kali kita mendapati fenomena KKN di berbagai daerah bahkan semakin menguat seiring hegemoni politik lokal, dimana birokrasi masih sangat efektif menjadi tumpuan untuk memenangkan pemilihan pejabat politik. Pada akhirnya birokrasi tidak bekerja secara profesional dan yang lebih penting lagi adalah belum dapatnya diterapkan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Untuk mendukung birokrasi pemerintahan ke arah yang lebih baik maka diperlukan inovasi guna mendukungnya melalui penerapan e-Goverment dan e- procurement. E-Goverment merupakan upaya pemanfaatan informasi dan teknologi komunikasi untuk meningkatakan efisiensi dan efektivitas transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam memberikan pelayanan publik secara lebih baik. Dalam perkembangan teknologi Informasi telah berkembang dengansangat cepat dan praktis dengan demikian mampu menghemat waktu dan biaya. Melalui pemanfaatan teknologi informasi ini memungkinkan berbagai bentuk layanan dapat di kemas dalam suatu program (software) tertentu yang memiliki kemampuan memproses data dengan kecepatan keakuratan yang sangat tinggi, sehingga mampu memperpendek interval waktu yang diperlakukan untuk menyelesaikan berbagai langkah penting dalam proses penyelesaian suatu pekerjaan.
Desentralisasi di definisikan sebagai “membalikkan konsentrasi administrasi pada kekuasaan pusat dan menyerahkan kekuasaan pada pemerintah lokal”(Smith 1985: 1).Praktik desentralisasi yang dijalankan oleh banyak negara bersifat birokratik-sentralistik, di mana pembagian kewenangan atau urusan, bentuk kelembagaan, alokasi finansial, dan struktur politiknya bersifat seragam dan ditentukan oleh pemerintah pusat. Banyak kasus mengenai model desentralisasi seperti itu cenderung mengalami kegagalan, karena struktur politik dan kewenangan pusat-daerah sangata ditentukan oleh budaya, sejarah integrasi sosial politik, tingkat keteganagan pusat-daerah, luasan daerah, jumlah penduduk dan kepemilikan risorsis. Perlunya desentralisasi birokrasi pemerintahan di Indonesia karena fungsi daripada desentralisasi itu sendiri yang mana untuk memperkuat akuntabilitas dan kemampuan politik (Smith, 1985: 4), mempromosikan kebebasan, kesamaan, dan kesejahteraan (Hill, 1974; Mass,1959), dan dipercaya akan menjadi instrumen untuk mempertahankan sistem politik nasional. Pengalaan di berbagai negara berkembang menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi membutuhkan kombinasi faktor yang jitu, waktu yang tepat, serta tingkat eksperimentasi tertentu. Sulit untuk bisa mengatakan bahwa proses implementasi kebijakan desentralisasi akan berhasil jika ada kepemimpinan politik yang committed dan tangguh baik di level pusat maupun daerah. Dukungan yang kuat pun harus ada dari para pejabat lini di tingkat birokrasi pusat. Kebijakan desentralisasi hanya akan berjalan secara efektif jika kebijakan  di desain secara tepat dan para pejabat di tingkat daerah mau jujur dan kompeten. Di samping itu, para pemimpin di tingkat nasional harus memandang proses pemberdayaan di tingkat daerah lebih sebagai suatu manfaat ketimbang ancaman. Desentralisasi di Indonesia, pada dasarnya bukan konsep baru dalam tata kelola pemerintahan. Namun, walaupun proses desentralisasi di Indonesia telah dilaksanakan sejak masa pemerintahan kolonial belanda, upaya tersebut belum memberikan hasil yang memuaskan (Widianingsih 2005; Lerche 2005). Maka keterbukaan daerah dalam melakukan inovasi tata kelola pemerintahan perlu di dukung oleh adanya komitmen pimpinan daerah dalam mengawal proses perubahan yang dilakukan.
Perkembangan Ilmu Administrasi Negara telah mengalami pergeseran titik tekan dari administration of public di mana negara sebagai agen tunggal implementasi fungsi negara/ pemerintahan, yang menekankan fungsi negara/ pemerintahan dalam public service ke administration by public yang berorientasi pada public demand are differentiated dalam arti fungsi negara/ pemerintah hanyalah sebagai fasilitatir, katalisator yang bertitik tekan pada putting the customers in the driver seat, tidak lagisebagai faktor atau aktor utama atau sebagai driving forces. Perubahan besar terjadi pada makna public yaitu makna sebagai negara menjadi makna public sebagai masyarakat. Pendekatan tidak lagi pada negara melainkan lebih menitikbertkan pada customers oriented atau customers approach. Makna yang terkandung dalam kata publik beragam namun tersirat satu hal penting yaitu dalam kata publik harus berkaitan dengan kepentingan publik, kepentingan umum, kepentingan rakyat, atau kepentingan masyarakat. Karena itulah public policy tidak diterjemahkan sebagai kebijakan negara melainkan kebijakan publik, sebab public policy harus berorientasi pada kepentingan publik.
Model pembangunan berbasis kemanusiaan muncul sebagai upaya membangun Indonesia lebih berkualitas. Paradigma pembangunan berbasis kemanusiaan lahir sebagai kritk proses pembangunan bertumpu pada pertumbuhan semata yang tidak hanya menempatkan manusia sebagai salah satu faktor produksi, tetapi kontribusinya dalm meningkatakan derajat kesejahteraan manusia sangat minim. Pemberdayaan manusia sesuai denga konsep humanizing  adalah memberikan penekanan pada dimensi kemanusiaan yang dalam konsepnya Todaro (2003) disebut sebagai pembangunan lebih manusiawi yang mencakup tiga nilai inti, yaitu kecukupan (sustenance); harga diri (self system); dan kebebasan (freedom). Model pembangunan yang berdimensi kemanusiaan memberikan alternatif bagi keterlibatan individu atau sekelompok masyarakat dalam proses pembangunan.
Setelah jatuhnya kepemerintahan orde baru dan terselenggaranya Pilkada Langsung, demokratisasi menjadikan tantangan sendiri yang harus di hadapi kebijakan publik. Demokrasi akan menghasilkan sistem perumusan kebijakan yang lebih partisipatif dan karena itu memberi legitimasi yang lebih kuat terhadap kebijakan yang di ambil. Tetapi proses demokrasi juga menuntut kesiapan perumus kebijakan untuk melalui proses poltik panjang, untuk menggunakan keterampilan negosiasi, serta kesediaan melakukan kompromi dengan semua pemangku kepentingan. Sistem organisasi akan berjalan dengan baik manakala di dukung oleh semua komponen organisasi secara integratif. Terjadinya integrasi antar komponen organisasi sangat ditentukan oleh sejauh mana homogenitas kepentingan anggota di satu sisi, dan sejauh mana kepentingan anggota identik dengan kepentingan organisasi di sisi lain. Semakin homogen kepentingan antar anggota, semakin memungkinkan terjadinya titik temu dan semakin mudah untuk terjadinya kerjasama. Sebaliknya, jika terjadi heterogenitas kepentingan dan motif anggota, dapat menjadi hambatan bagi terjadinya kerjasama. Dalam hal ini setiap orang terbelenggu oleh kepentingan serta motif pribadi sehingga sulit melakukan integrasi.
Perlu kita tahu apa itu konflik kepentingan. Konflik kepentingan adalah suatu situasi sehingga dijumpai adanya kepentingan pribadi-pribadi yang memiliki perbedaan dengan kepentingan organisasi namun keberadaannya seringkali bersifat melekat, menempel, maupun menumpang,dengan kepentingan organisasi tempat di man mereka bergabung, serta mengambil keuntungan dari kebijakan dan manajemen yang berlangsung di dalamnya. Di Indonesia hingga saat ini masih marak konflik kepentingan di kalangan pelaku organisasi terutama di birokrasi publik di mana sarat akan kepentingan pribadi maupun golongan.  Upaya sistem kepegawaian publik akan mengalami kesulitan untuk melakukan perubahan nilai pada setiap individu maupun kelompok. Hal ini dikarenakan masalah konflik kepentingan bertalian dengan perilaku individu, kelompok, yang seringkali saling potong memotong, maka memerlukan proses dan waktu yang relatif panjang. Melakukan pembatasan kepentingan perseorangan dan kelompok dalam organisasi tidak dapat hanya dilakukan secara normatif, tetapi harus diimbangi upaya untuk mengakomodasi kepentingan secara sehat, sejauh yang dapat dipenuhi organisasi. Upaya memberikan larangan memang diperlukan, tetapi harus disertai dengan pengakuan dan kompensasi moral. Langkah dalam melakukan perubahan ini akan dihadapkan pada ketidakjelasan apa yang dirasakan, diinginkan, dan diperjuangkan oleh setiap orang dalam mempertahankan dan memenuhi kepentingan masing-masing.
Ketika warga negara indonesia di tanya tentang tanggapan mereka atas kinerja birokrasi, maka hanya wajah mengkerut yang didapatkan. Mungkin publik bingung harus mulai dari mana menumpahkan segala keluhannya jangan jauh-jauh berharap menemukan birokrasi yang melayani, memberdayakan, atau birokrasi yang fasilitatif, dan lain-lain. Dalam konteks demikian itu, sebagai perguruan tinggi (fakultas dan/ atau jurusan) yang bergelut dalam ranah Ilmu Administrasi Publik kiranya menjadi perhatian. Karena perkembangan dan perubahan lingkungan global dewasa ini bergerak begitu cepat, tidak menentu, dan penuh dengan pergolakan. Perguruan tinggi perlu mengantisipasi dengan terencana, terarah, dan berkesinambungan, baik dalam aspek kelembagaan, kurikulum maupun sumber dayanya. Jika tidak demikian, maka perguruan tinggi akan di anggap sebagai institusi yang tidak peduli pada perubahan lingkungan, khususnya pada kebutuhan dan harapan masyarakat lokal, nasional maupun internasional. Untuk membentuk kompetensi lulusan yang berkualitas maka langkah yang harus dilakukan antara lain adalah menyusun kurikulum yang berbasis kompetensi. Guna mewujudkan kompetensi yang diharapakan tersebut, maka beberapa hal berikut meskipun sebagai pendukung, harus dipersiapkan secara matang, seperti tenaga pendidik dan kependidikan , proses pembelajaran juga sarana prasarana umum dan penunjang proses pembelajarannya. Selain itu perlu pula suatu acuan untuk menyusun kurikulum pembelajaran. Menurut Benyamin S. Bloom, ada tiga aspek yang perlu dijadikan acuan dalam menyusun kurikulum pembelajaran yaitu: 1) Aspek kognitif dengan penekanan pada aspek intelektualitas; 2) Afektif atau kemampuan untuk berelasi; 3) Aspek psikomotorik atau keahlian dan kemampuan spiritual.

Kelemahan dan Kelebihan Buku :
Menurut saya setelah membaca beberapa bagian isi di dapati kurang sesuai dengan judul buku maupun Bab yang menjadi pokok bahasan. Terlalu tergeneralisasi atau melebar, bisa dikatakan kurang mempunyai fokus yang jelas. Sehingga saya selaku pembaca bingung karena ketidaksesuaian dengan apa yang hendak di bahas. Ada beberapa bahasan yang masih sulit untuk di pahami maksud daripada permasalahan dalam buku tersebut.
Teori yang dapat diambil dan implementasinya sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini.
Teori/ konsep yang dapat di ambil dari wacana di atas adalah kepemimpinan, efektivitas dan efisiensi. Menurut Rauch & Behling (1984),Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktifitas-aktifitas sebuah kelompok yang diorganisasi ke arah pencapaian tujuan.
Menurut Hidayat (1986) “efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas,kualitas, dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar persentase target yang dicapai, maka makin tinggi efektivitasnya”. Sehingga dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah keadaan sumberdaya dan segala yanga ada yang dapat dipakai untuk peningkatan dan pencapaian sesuatu secara cepat dan tepat.
Dari dua definisi teori/ konsep diatas merupakan permasalahan yang dapat kita lihat kondisi pemerintahan Indonesia saat ini. Menilik kepemerintahan SBY-BOEDIONO yang telah memimpin dua periode ini dirasa mengalami kemunduran dan tidak lagi sesuai dengan apa yang dikehendaki masyarakat. Masyarakat mulai kehilangan kepercayaan pada kepemimpinan SBY-BOEDIONO. Hal demikian tidak lepas dari adanya berbagai permasalahan-permasalahan yang mendera kepemerintahan presiden saat ini seperti masih maraknya korupsi, janji-janji politis yang pada akhirnya tidak mampu dijalankan, dan banyak lagi lainnya. Kepemimpinan SBY-BOEDIONO dianggap sudah tidak mampu lagi mengakomodir aspirasi masyarakat, gaya pemerintahannya akhir-akhir ini ‘lembek’. Lihat saja celoteh Presiden SBY di media televisi yang mengeluhkan bahwa gaji yang diterimanya saat ini belum pernah naik, mengindikasikan bahwa gaji yang diterima masih kurang. Lalu bagaimana rakyat Indonesia yang masih banyak pengangguran dan kemiskinan. Mengenai birokrasi pemerintahan selama kepemimpinannya saya rasa sudah cukup efektif namun belum benar-benar efektif seperti apa yang diharapkan. Tentunya kualitas SDM juga mempengaruhi kinerja birokrasi selaku aparatur pemerintah.
Demikian yang telah saya utarakan di atas sebagai bagian upaya saya mereview tugas mata kuliah Teori Administrasi Negara dari dosen saya. Harap dimaklumi apabila timbul banyak kesalahan karena ini semua adalah bagian daripada proses pembelajaran. Adapun publikasi nama di atas hanya sebagai gambaran situasional yang ada sekarang berdasarkan pandangan saya sendiri bukan maksud merendahkan dan melemahkan pihak terkait, tetapi untuk menyadarkan diri dan instropeksi diri terhadap kinerja yang di bangunnya. Terima kasih . .


Referensi :

Suaedi, Falih; Wardiyanto, Bintoro, (2010). Revitalisasi Administrasi Negara: Reformasi Birokrasi dan e-Governance. Graha Ilmu, yogyakarta.

No comments:

Post a Comment