LATAR BELAKANG MASALAH
Menilik kembali ke belakang, beberapa waktu yang lalu. Isu-isu publik yang diperbincangkan dalam masyarakat dan masih hangat hingga saat ini adalah masalah anggaran. Anggaran, jika kita berpikir mengenai anggaran yang akan kita tangkap adalah ‘uang’. Kita tahu bahwa uang memainkan peran penting dalam semua lini kehidupan bermasyarakat. Karena ketertarikan inilah saya ingin menelaah kembali keuangan di negara kita terutama anggaran pendapatan belanja negara maupun daerah.
Sering kali anggaran menimbulkan permasalahan yang kompleks. Timbul suatu pertanyaan, apa tujuan anggaran itu di buat ? untuk siapa dan apa anggaran tersebut ditujukan ?. Dari pertanyaan itu, saya menggambarkan bahwa anggaran dibuat untuk menyejahterakan masyarakat. Anggaran sering kali ditemui tidak tersalurkan dengan baik. Ini dikarenakan ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab menyalahgunakan anggaran untuk kepentingannya sendiri atau sesuatu yang lain. Sekali lagi saya tekankan bahwa manusia dapat berubah bila melihat ‘uang’, karena peran pentingnya di setiap segi lini kehidupan. Orang dapat tersesat dan dibutakan oleh yang namanya ‘uang’ sehingga timbul yang namanya tindakan seperti ‘korupsi’. Anggaran juga didapati tidak tepat target dan terjadi ketimpangan antara pembangunan infrastruktur dan non-infrastruktur.
Melalui media massa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengingatkan semua pihak agar tidak menghabiskan anggaran untuk keperluan rutin seperti gaji pegawai dan biaya operasional. Porsi yang cukup signifikan perlu dialokasikan untuk keperluan belanja modal, seperti jalan dan infrastruktur lainnya. Menurut Presiden, dalam hal pemakaian anggaran, baik itu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), para perencana harus berpikir seperti di dalam dunia usaha. Dengan berpikir seperti di dalam dunia usaha, alokasi belanja modal otomatis akan mendapat porsi yang besar di dalam anggaran. Namun, banyak pemerintah daerah yang mengeluhkan terbebani anggaran untuk belanja tak langsung seperti gaji pegawai atau non-infrastruktur dimana alokasi untuk belanja modal lebih sedikit karena terpangkas belanja pegawai. Pembebanan anggaran APBD untuk gaji pegawai mampu menjadikan faktor penghambat kinerja pemerintah daerah. Hal ini mengakibatkan kegiatan pembangunan atau belanja langsung berjalan kurang optimal. Alokasi dana yang tidak sesuai kebutuhan ini pada akhirnya membuat kegiatan pemeliharaan dan perbaikan sarana infrastruktur tidak pernah tuntas atau terselesaikan tepat waktu. Sejumlah daerah mengeluhkan proyek-proyek yang didanai anggaran tetapi tidak pernah tuntas.
Dalam pidato Presiden beberapa waktu yang lalu di media massa bahwa pemerintah pusat merencanakan kenaikan gaji PNS, TNI, dan POLRI pada tahun depan akan naik rata-rata 10 persen. Ini akan memberatkan pemerintah daerah bila tidak diimbangi dengan kebijakan anggaran pusat. Surat harian KOMPAS.com(25/8/2011), Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X memberikan pernyataan bahwa pemerintah pusat harus menambah anggaran untuk kenaikan gaji agar tidak mengganggu anggaran daerah. Dengan adanya tambahan anggaran dari pemerintah pusat, menurut dia kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS) tersebut tidak mengurangi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Selain itu Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, secara ideal pembayaran gaji seharusnya tidak dibebankan pada pemda, melainkan dibayar pemerintah pusat, sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) bisa dikembalikan lagi ke pelayanan masyarakat. Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di daerah-daerah lainnya Provinsi Jawa Tengah sendiri memiliki 11 kabupaten yang terpaksa menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk menutupi gaji pegawai dan insentif daerah karena dana alokasi umum dari pemerintah pusat lebih rendah daripada belanja pegawai. Hal tersebut disampaikan Pelaksana Harian Sekretaris Daerah Jawa Tengah Sriyadhi dan Kepala Biro Keuangan Pemprov Jateng Agoes Soeranto, Selasa (14/6/2011) di Kantor Gubernur Jateng di Semarang. ”Jumlah DAU (dana alokasi umum) yang diterima lebih rendah dari alokasi belanja gaji dalam APBD sehingga dana dari DAU tidak dapat mencukupi belanja gaji,” ujar Agoes. Lebih lanjud Agoes menuturkan kondisi tersebut terjadi karena kebijakan pemerintah pusat tidak selalu diikuti dengan kebijakan dalam pengalokasian pendanaan. Ia mencontohkan kebijakan kenaikan gaji pegawai negeri sipil tidak otomatis diikuti kenaikan DAU yang seimbang dengan kenaikan gaji.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Dr. Andrinof Chaniago, mengatakan, pertambahan anggaran belanja pegawai pemerintah pusat tak akan mengubah kualitas layanan birokrasi. Kualitas layanan birokrasi dan mentalitas PNS diperkirakan tetap buruk. "Kunci reformasi PNS adalah dimulai dari proses rekrutmen yang baik," kata Andrinof pada diskusi di Jakarta, Sabtu (KOMPAS.com, 20/8/2011). Dia juga mengatakan seberapa pun besar anggaran yang diperuntukkan bagi PNS, tetapi bila proses rekrutmen tak berubah, kualitas layanan birokrasi akan tetap sama.
Lebih dalam saya mencoba menggali fenomena berkaitan dengan anggaran negara kita ini. Saat ini yang tidak lama juga menjadi sorotan publik terutama oleh para pakar dan pengamat ekonomi tidak lain adalah RAPBN 2012 yang menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Dengan menghimpun informasi dari berbagai media, banyak pakar dan pengamat ekonomi menyatakan RAPBN 2012 tidak memihak rakyat.
Mengutip surat harian KOMPAS.com, Jakarta, Kamis(18/8/2011), Alokasi RAPBN 2012 tidak jauh berbeda dengan APBN-P 2011 yang inkonstitusional karena belum berorientasi pada kemakmuran rakyat. Dari tabel yang disajikan dalam tabel di surat kabar harian KOMPAS.com tersebut, “Anggaran belanja dalam APBN terbukti lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan belanja PNS, sebesar Rp. 180,8 triliun untuk 4,7 juta jiwa PNS, dibanding 31,02 juta jiwa penduduk miskin yang hanya mendapatkan Rp. 50,3 triliun.”
Koalisi APBN Untuk Kesejahteraan Rakyat dalam edaran pers, Kamis (18/8/2011) menjelaskan, dana Rp 215,7 triliun dialokasikan untuk membiayai 4,7 juta pegawai negeri dan 31 juta rakyat miskin hanya mendapat jatah Rp 50 triliun. Dalam Pidato Penyampaian Nota Keuangan RAPBN 2012 tanggal 16 Agustus 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa RAPBN 2012 disusun sesuai amanat konstitusi, disusun sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Koalisi APBN menilai postur ini menggambarkan, orientasi APBN yang lebih mengutamakan kesejahteraan aparat birokrasi dibandingkan kesejahteraan rakyat miskin. Reformasi birokrasi yang seharusnya mampu membuat belanja birokrasi semakin efisien justru terus membengkak setiap tahunnya.
Begitu pula dengan anggaran kesehatan, meskipun menjadi prioritas, dalam RAPBN 2012, hanya dialokasikan Rp. 14,4 triliun atau 1 persen dari belanja Negara atau masih jauh dari amanat undang-undang sebesar 5 persen. Selain itu belanja modal, dibandingkan belanja pegawai, hanya meningkat Rp. 27,1 trilyun atau menjadi Rp. 168,1 triliun. Sebesar 61 persen RAPBN 2012 tidak ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dari sisi pendapatan, setiap tahun, penerimaan negara dari pajak selalu naik tinggi. Pada APBN 2009, penerimaan pajak sebesar 725,8 triliun (74 persen dari total penerimaan negara), naik menjadi 742,7 triliun (78 persen dari total penerimaan negara) pada APBN 2010, naik lagi secara nominal menjadi sebesar 850,2 triliun (menyumbang 77 persen dari seluruh pendapatan negara) pada APBN 2011, dan pada RAPBN 2012 direncanakan naik lagi 140,6 triliun menjadi 1.019,3 triliun (menyumbang 79 persen dari seluruh pendapatan negara).
Koalisi APBN mengkritisi, hal ini mengesankan Dirjen Pajak merupakan bagian dari Departemen Keuangan yang selalu sukses menyediakan dana berapapun yang diminta oleh APBN setiap tahun. Tetapi, tidak pernah ada penjelasan (tidak transparan) berapa sebenarnya penerimaan pajak oleh negara setiap tahun, sektor mana saja penyumbang pajak dan besaran masing-masing, dan bagaimana audit penerimaan negara dilakukan, mengapa undang-undang dengan sengaja melarang audit penerimaan pajak oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ini merupakan hal yang aneh dan sulit diterima di tengah kebebasan memperoleh informasi yang dijamin oleh undang-undang lainnya. "Tidak pernah pula dijelaskan bagaimana penerimaan pajak dialokasikan dalam nomenklatur belanja negara, bagaimana memastikan bahwa hasil pajak tersebut dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan sumber daya manusia," ujar Gunawan mewakili Koalisi APBN.
Sementara dari sisi pembiayaan, orientasi peyusunan anggaran belum bergeser dari kemandirian terhadap utang. Postur APBN masih dibebani oleh pembayaran cicilan pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri dalam jumlah yang sangat besar. Di sisi lain, penyusunan RAPBN 2012 tidak lain hanya upaya untuk meneruskan pembuatan utang-utang baru dari penerbitan Surat Berharga dan Utang luar negeri. Penarikan utang pada tahun 2012 semakin meningkat, seiring dengan kebutuhan untuk membiayai defisit APBN sebesar Rp125,6 triliun dan kewajiban jatuh tempo pembayaran cicilan pokok utang luar negeri dan dalam negeri serta biaya untuk penerbitan surat berharga negara. Kondisi ini jelas akan meningkatkan nominal utang pemerintah yang saat ini berjumlah Rp1.733,64 triliun pada posisi Juli 2011. Dengan demikian, postur RAPBN 2012 sesungguhnya masih disandera oleh kebijakan penambahan dan pembayaran utang yang besar. Hal yang sama juga terjadi pada APBN-P 2011 yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010, hanya mengalokasikan anggaran untuk kesehatan berkisar 1,5 persen. Selain lebih kecil dari alokasi anggaran yang ditentukan dalam Undang-Undang Kesehatan yang mewajibkan penganggaran dalam APBN minimal sebesar 5 persen, APBN 2011 juga tidak mampu mengakomodir kebutuhan akan layanan kesehatan masyarakat yang mensyaratkan adanya keterjangkauan akses dan mutu layanan kesehatan.
Fakta yang mengemuka sebagai bukti dari tidak terpenuhinya kemakmuran rakyat dalam bidang kesehatan dapat dilihat dari berbagai kasus seperti ditolaknya masyarakat (pasien) miskin pada saat berusaha untuk memperoleh layanan kesehatan serta tingginya harga obat-obatan yang sulit diperoleh. Selain itu, anggaran belanja dalam APBN terbukti lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan belanja pegawai negeri sipil (PNS), yaitu sebesar Rp. 180,8 triliun untuk 4,7 juta jiwa PNS, dibanding 31,02 juta jiwa penduduk miskin yang hanya mendapatkan Rp. 50,3 triliun. Ini menunjukkan bahwa APBN 2011 tidak berpihak pada mayoritas rakyat miskin.
Ada pun anggota Koalisi APBN untuk Kesejahteraan Rakyat adalah:
1. Gunawan, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
2. Yuna Farhan, Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA)
3. Ah. Maftuchan, Prakarsa Masyarakat untuk Negara Kesejahteraan dan Pembangunan Alternatif (PRAKARSA)
4. Abdul Waidl, Koalisi Anggaran Independen (KAI)
5. Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M)
6. Firdaus, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK)
7. Ridaya La Ode Ngkowe, Publish What You Pay
8. Dani Setiawan, Koalisi Anti Utang
Masih seputar anggaran negara kita. Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 mengalami obesitas, itulah yang terjadi. Anggaran belanja sebesar lebih dari Rp 1.400 triliun yang semestinya menjadi modal besar untuk pembangunan tetapi alokasinya ternyata tersedot untuk urusan birokrasi. Menurut pengamat ekonomi Didik J Rachbini dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (18/8/2011), menyindir RAPBN 2012 bahwa anggaran tersebut gemuk dan di dalamnya ada penyakit-penyakit dan lemak-lemak yang tidak perlu tapi justru malah paling banyak.
Dalam sidang bersama Wakil Presiden Boediyono, Jajaran menteri kabinet Indonesia bersatu II, Pimpinan lembaga tinggi negara, anggota DPD dan DPR-RI, selasa(16/8/2011) yang lalu di kompleks parlemen, Jakarta. Presiden dalam pidato kenegaraannya menyampaikan program-program RAPBN 2012. Fokus utama dalam RAPBN 2012 menurutnya adalah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun apakah demikian bila melihat susunan RAPBN dimana alokasi anggaran untuk kesejahteraan masyarakat lebih sedikit dibandingkan dengan urusan birokrasi beserta aparatur negaranya? Sungguh ironis, sekedar janji dan keadilan bagi masyarakat itu adalah ‘utopis’ melihat kurang pekanya dan perhatian pemerintah terhadap masyarakat. Masyarakat telah jatuh terbuai dalam janji-janji pemerintah yang tak kunjung terwujud dan dirasakan manfaatnya.
PERMASALAHAN
Dari isu isu yang telah di jelaskan diatas dapat di tarik suatu problematika dalam anggaran diantaranya, yaitu: kebijakan pemerintah pusat tidak selalu diikuti dengan kebijakan dalam pengalokasian pendanaan yang menjadikan beban bagi pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggarannya, APBD yang senantiasa terbebani oleh alokasi gaji pegawai yang besar, dan kegiatan pembangunan yang tidak optimal karena ketimpangan anggaran yang begitu besar. Kemudian ketidaksesuaian alokasi dana atau anggaran pada proyek-proyek pembangunan yang mengakibatkan kemandekan bagi proyek tersebut. Pemerintah daerah juga harus menanggung beban gaji pegawai yang kemungkinan terjadi naik rata-rata 10 persen. Hal ini dikuatkan dengan dukungan DPR-RI. DPR memberikan dukungan penuh atas rencana pemerintah menaikkan gaji pokok dan pensiun pokok rata-rata bagi pegawai negeri sipil (PNS) pada tahun 2012, yaitu rata-rata sebesar 10 persen, pemberian gaji dan pensiun bulan ke-13 serta menampung kebutuhan anggaran remunerasi kementerian/lembaga. Menurut Ketua DPR Marzuki Alie, peningkatan kesejahteraan para abdi negara ini dibutuhkan sebagai bagian dari upaya mewujudkan cita-cita reformasi birokrasi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkilah bahwa peningkatan gaji dan tunjangan tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah memberikan perhatian pada perbaikan kesejahteraan PNS, TNI, Polri, dan pensiunan. Selain itu RAPBN 2012 banyak menuai kritikan. RAPBN 2012 dituding belum berorientasi pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. RAPBN 2012 hanya memanjakan birokrasi semata dan mengindikasikan ketidakberpihakan pada rakyat terutama masyarakat miskin. Bila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengklaim bahwa dalam kepemerintahannya mampu mengurangi pengangguran meskipun tidak signifikan, lain halnya dengan saya. Saya berpendapat bahwa tidak ada yang berubah dari kondisi masyarakat saat ini. Mungkin perekonomian indonesia beranjak membaik, namun tidak dibarengi kondisi masyarakat yang membaik pula. Sulit mengatakan kondisi masyarakat beranjak baik atau mampu menekan angka kemiskinan maupun pengangguran bila program-rogram dalam RAPBN 2012 masih lemah keberpihakan terhadap rakyat. Saya juga sependapat dengan keterangan dari koalisi APBN untuk kesejahteraan rakyat yang menyatakan bahwa APBN berorientasi pada kesejahteraan aparatur birokrasi bukan pada kesejahteraan masyarakat.
Dalam RAPBN 2012, kenaikan yang terjadi kurang dari 10 persen. Dalam keadaan normal, ini menggambarkan konservatisme berlebihan. Selain itu dalam RAPBN 2012, kita dapat melihat lonjakan tinggi pada belanja pegawai, yaitu terjadinya kenaikan sebesar Rp32 triliun. Ini jelas kenaikan yang melebihi proporsinya. Namun, dari penjelasan pemerintah, tampak kenaikan belanja pegawai tersebut, terutama dilakukan sebagai upaya penyelesaian reformasi kepegawaian yang berujung pada perbaikan remunerasi pegawai.
Prof. Firmanzah, PhD; Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia di media massa menyoroti RAPBN 2012 bahwa pola rancangan APBN 2012 mendatang tentunya dapat memberikan signal bagi publik perlunya peningkataan keberpihakan anggaran terhadap pembangunan di daerah di tengah isu disparitas ekonomi antar wilayah yang tak terselesaikan selama 66 tahun Indonesia merdeka. Di sisi lain perlu dicatat bahwa “83,2 persen wilayah Indonesia merupakan kawasan perdesaan dengan total jumlah desa sebesar 74 ribu desa (survei PODES, 2006). Dari 74 ribu desa tersebut, 45 persen atau sekitar 32.500 desa merupakan desa tertinggal (miskin). Sementara di tingkat Kabupaten, dari total 399 Kabupaten yang ada di Indonesia 183 kabupaten diidentifikas sebagai kabupaten tertinggal yang sebagian besar (60 persen) berada pada Indonesia bagian Tengah dan Timur” tuturnya. Makanya, sangat jelas jika arah kebijakan adalah pemerataan dan perluasan pembangunan perlu difokuskan pada pembangunan daerah-daerah tertinggal, sehingga kesenjangan antar wilayah dapat direduksi secara perlahan.
Dari total anggaran belanja pemerintah pusat sebesar Rp954,1 triliun dengan komposisi terdiri dari belanja pegawai sebesar Rp215 triliun (22,5 persen), subsidi Rp208 triliun ( 21,8 persen), belanja modal Rp168,1 triliun (17,6 persen), belanja barang Rp138 triliun (14,4 persen), pembayaran utang Rp 123,7 triliun (13 persen), dan belanja lain-lain Rp 100,4 triliun (10,5 persen). Besarnya lonjakan belanja rutin pegawai menjadi sorotan dari tahun ke tahun yang berpotensi mereduksi program reformasi birokrasi yang tengah digalakkan dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II.
Kita mendengar beberapa waktu lalu terjadinya kenaikan remunerasi pegawai di beberapa kementerian. Struktur anggaran yang terbebani dengan anggaran belanja pegawai tentunya dapat berakibat pada semakin sulitnya mengedepankan program-program pemerataan dan perluasan pembangunan ekonomi. Beliau juga mengatakan, membengkaknya anggaran belanja pegawai setidaknya tidak akan menjadi masalah besar apabila struktur penyelenggara negara dapat berjalan optimal dan efektif. Namun sebaliknya, akan menjadi masalah besar (liability) apabila struktur tersebut hanya dijadikan ajang transaksi politik dan mengamankan kekuasaan.
Pemerintah saat ini memliki 34 kementerian dan 3 lembaga setingkat kementerian, 88 lembaga non-struktural, 28 lembaga non-kementerian ditambah berbagai satuan tugas yang dibentuk (walau bersifat ad hoc). Jumlah kementerian ini relatif lebih besar jika dibandingkan dengan negara-negara besar, seperti Jepang (11), AS (15), Rusia (20), dan Brasil (24), atau bahkan jika dibandingkan dengan negara sosialis seperti China (29). Kemudian gemuknya struktur penyelenggaran pemerintahan tentunya tidak hanya berdampak pada tingginya belanja rutin pegawai (belum lagi persoalan dana pensiun yang akan dihadapi kemudian hari), tidak efisiennya penyelenggaraan pemerintahan juga akan semakin mempertegas Indonesia sebagai negara high cost economy. Dan yang mengkawatirkan adalah bongsornya tatanan penyelenggara negara akan berpotensi pada semakin biasnya arah kebijakan atau semakin tidak fokusnya kebijakan-kebijakan yang diambil di masa mendatang. Untuk menyukseskan program reformasi birokrasi yang tidak sekadar memperbaiki remunerasi pegawai tetapi juga perlu upaya merasionalisasi struktur dan organ penyelenggara pemerintahan yang berlebihan dan sangat tidak efisien.
Reformasi birokrasi bukan sekedar program insidentil yang hanya menyelesaikan persoalan di permukaan saja, tetapi harus didorong untuk lebih pada perbaikan tatanan lembaga penyelenggara negara yang efektif dan efisien.
SOLUSI
Banyak sorotan publik terhadap anggaran kita terutama isu RAPBN 2012 yang banyak pihak mangatakan disusun tanpa strategi yang jelas. Ketiadaan strategi itu terlihat dari penganggaran yang terlihat tidak ada keseriusan dalam merealisasikan program pemerintah sendiri, seperti pro poor, pro job, pro growth, dan pro environment. REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Direktur Eksekutif Institute for Developement of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menegaskan RAPBN 2012 bertentangan dengan konstitusi karena tidak menjalankan peran dan fungsi utama anggaran untuk menyejahterakan rakyat. Menurutny, APBN sejak 2006 hingga sekarang masalahnya tetap sama, yakni kebijakan politik anggaran yang lemah dan teknis realisasi APBN. RAPBN 2012 justru hanya membiayai birokrasi. RAPBN 2012 tidak menyentuh masalah paling krusial, yaitu pengangguran, deindustrialisasi, ancaman krisis pangan, dan energi diimbangi dengan kebijakan anggaran pusat.
Dalam upaya mengatasi masalah yang dihadapi pemerintah daerah mengenai dana alokasi antara belanja pegawai dan belanja modal. Menurut Sri Sultan Hamengku Buwono X secara ideal pembayaran gaji seharusnya tidak dibebankan pada pemda, melainkan dibayar pemerintah pusat, sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) bisa dikembalikan lagi ke pelayanan masyarakat. Selain itu kebijakan pemerintah pusat tidak selalu diikuti dengan kebijakan dalam pengalokasian pendanaan. KOMPAS.com, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri, Sadu Wasistiono di Batam, Selasa (2/8/2011), Guna mengatasi ketidakmampuan pemerintah membayar gaji PNS, ia mengatakan pemerintah pusat mengusulkan moratorium agar Pemda menghentikan pengangkatan PNS baru hingga dua tahun ke depan. Saat ini moratorium masih di godok dan nantinya akan di tuangkan dalam keputusan presiden.
Pertambahan anggaran belanja pegawai pemerintah pusat tak akan mengubah kualitas layanan birokrasi. Dr. Andrinof Chaniago menuturkan bahwa kualitas layanan birokrasi dan mentalitas PNS diperkirakan tetap buruk. Berdasarkan atas penjelasan Dr. Andrinof Chaniago sebelumnya, solusi yang dapat di ambil dalam rangka menghadapi reformasi PNS, kuncinya adalah dimulai dari proses rekrutmen yang baik. Kemudian Prof. Firmanzah, PhD. memberikan solusi secara tak langsung atas permasalahan penganggaran negara kita yaitu, perlunya peningkataan keberpihakan anggaran terhadap pembangunan di daerah di tengah isu disparitas ekonomi antar wilayah yang tak terselesaikan selama 66 tahun Indonesia merdeka. Seperti yang masih baru-baru ini berkembang bahwa dana alokasi khusus untuk papua tidak pernah sampai manfaatnya ke masyarakat papua sendiri, sehingga patut dipertanyakan kemanakah dana tersebut mengalir. Menyikapi peristiwa yang terjadi di bumi cendrawasih dimana anggaran yang santer terdengar tidak sampai ke masyarakat papua dapat di jawab dengan transparansi dan akuntabilitas. Menurut para aktivis perwakilan masyarakat papua, masyarakat papua saat ini membutuhkan kesejahteraan sosial dan pembangunan ekonomi. Hal itulah yang sering menjadi penyebab konflik yang muncul di daerah tersebut karena kesenjangan yang jelas-jelas terjadi antara papua dengan daerah seperti Jawa dan daerah lainnya. Jika arah kebijakan adalah pemerataan dan perluasan pembangunan, maka perlu difokuskan pada pembangunan daerah-daerah tertinggal, sehingga kesenjangan antar wilayah dapat direduksi secara perlahan.
Melihat struktur anggaran yang terbebani dengan anggaran belanja pegawai tentunya dapat berakibat pada semakin sulitnya mengedepankan program-program pemerataan dan perluasan pembangunan ekonomi. Prof. Firmanzah, PhD. Mengatakan, “membengkaknya anggaran belanja pegawai setidaknya tidak akan menjadi masalah besar apabila struktur penyelenggara negara dapat berjalan optimal dan efektif. Namun sebaliknya, akan menjadi masalah besar (liability) apabila struktur tersebut hanya dijadikan ajang transaksi politik dan mengamankan kekuasaan.”
“Untuk menyukseskan program reformasi birokrasi yang tidak sekadar memperbaiki remunerasi pegawai tetapi juga perlu upaya merasionalisasi struktur dan organ penyelenggara pemerintahan yang berlebihan dan sangat tidak efisien,” tuturnya dalam suatu kesempatan saat menjadi analis narasumber menyoroti RAPBN 2012 di media massa.
Reformasi birokrasi bukan sekedar program insidentil yang hanya menyelesaikan persoalan di permukaan saja, tetapi harus didorong untuk lebih pada perbaikan tatanan lembaga penyelenggara negara yang efektif dan efisien.
KESIMPULAN
Berdasarkan bahasan di atas, patut dijadikan perhatian penting bagi pemerintah pusat dalam rangka menyiapkan anggaran yang lebih bisa memberikan inspirasi dan motivasi di tahun-tahun mendatang demi menghasilkan akselerasi yang lebih tinggi bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Pemerintah tentu harus lebih memerhatikan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya jangan hanya memanjakan birokrasi dan aparatur negaranya saja.
Sumber :